Pembuka

Laman seorang pemikir salah kaprah yang menulis seenak kupingnya. Tulisan di laman ini adalah murni dari penulis. Beberapa artikel mungkin mengandung unsur "doktrin" ataupun "opini serapah"

Gambar Header

Gambar Header

Sabtu, 09 Juli 2016

Diary Usang Februari



Aku adalah Jessy, perkenalkan! Kau bisa menyebutku sebagai buah pemikiran dari penulis. Aku adalah PIKIRAN PENULIS hahaha. Entah alasan apa yang membuatnya memilih nama “Jessy” untukku, bukannya Vito, Matt, ataupun – Justin? Ah, lupakan nama terakhir. Itu adalah nama dari penyanyi terkenal dari barat tanah hijau yang tertutup oleh salju, Kanada. Justin Bieber. Lupakan tentang dia karena penulis hanya akan menangis karena tidak mampu membeli album keluaran terbarunya. Hm, biar aku koreksi, ia mengalihkan uang tabungannya. Pernah suatu ketika lima tahun silam di sebuah ruang kelas pojok lantai dua bangunan sekolah menengah. Seorang antah-berantah yang menyebut dirinya dengan “Justin Bieber” datang ke Indonesia, penulis kusam dan segerombolan temanya itu, yang tentu pula sama-sama kusamnya, memberenggut di pojok ruang kelas sembari matanya berkaca melihat layar laptop yang mempertontonkan beribu tweet di akun media sosial mereka. Salah seorang teman dengan malangnya mengatakan bahwa ia setengah mati tidak rela sang idola memeluk sorang gadis yang setengah keranjingan hingga tanpa sadar dicakarnya layar laptop itu. Sementara seorang disampingnya terus mengeram setengah kesal ikutan memberi dukungan seraya menyeruput es berwarna kuning mencolok yang kuyakini telah dicampur pewarna sintetis satu liter lebih. Penulis iba melihat layar laptop yang menjadi korban pencakaran seksual sembari dalam hati ingin menjambak gadis yang disebutnya setengah keranjingan itu. Hingga pada akhirnya ia pun ikutan mencakar. Sementara di pojok seberang, para murid lelaki sibuk bersorai memerhatikan adegan mesum salah satu anime sambil sesekali mengumpat. Sedangkan layar laptop sendiri, sebagai korban, tetap terdiam seribu bahasa. Seolah pasrah akan nasib yang akan menimpannya. Waktu itu adalah momen dimana aku memiliki kontrakdiksi yang tinggi terhadap penulis. Kuberi tahu kau pembaca, walopun sepanjang eksistensi aku selalu bersama dengan dia (penulis), namun tidak semua yang ia lakukan sesuai dengan prinsipku. Masih lekat pula waktu itu aku terus mebisikinya agar mengalihkan pandang barang semilisekon saja dari layar laptop malang itu karena seseorang tengah memperhatikannya. Namun, ia menolak dan tetap memaku pandang pada gadis keranjingan itu. Seseorang diseberang sana sedikit berteriak memanggil, barangkali ia punya hutang atau ia menagih janji bocoran soal harian sejarah tempo hari? Aku tak tahu persis, namun orang ini tetap tak mengiraukannya. Hingga akhirnya aku memaksannya untuk berdiri namun tetap tak bisa hingga terjadi baku hantam. Sang penulis matannya berkedut, mengalihkan pandang, namun seseorang di sana telah berlalu. Lantas sang guru memasuki ruangan membuat mereka semua terdiam. Penulis terdiam. Kedua perempuan disebelahnya terdiam. Para lelaki yang mengumpat terdiam. Meja-kursi terdiam. Papan tulis terdiam. Layar laptop yang sedari tadi diam, tetap terdiam. Hanya gadis keranjingan yang tetap tersenyum cekikikan, lantas menyadari semuannya diam langsung ikutan terdiam. Dan detik itu pun aku juga terdiam.
****
Februari adalah bulan kedua dengan jumlah hari paling sedikit sepanjang tahun. Namun, jumlah hari yang sedikit itu tidak selalu membuatmu melewati hari-hari dibulan itu dengan cepat. itulah yang dialami penulis. Sepanjang hari ia berdoa pada Tuhan agar bulan ini berlalu dengan cepat, namun disela doa-doa itu ia memberi pengecualian dan pilihan pada Tuhannya. Ia berharap Tuhan memberikan semua keberuntungan dibulan selanjutnya, hingga sebagai ganti Ia boleh memberi kesialan di bulan ini. Dan itu semua terkabul ketika tanggal satu Februari lalu ia terbaring sakit meringkuk di atas kasur satu hari dua malam, rasakan itu!
Tidak ada yang lebih mengejutkan ketika ibumu menghubungi kau agar membawa pakaian terbaik saat balik kampung karena kakak lelakimu akan nikahan. Kuberitahu kau – NIKAHAN. Siapa sangkah seorang menikah dengan begitu tiba-tiba? Sang penulis yang kala itu membaca pesan dari ibunya, sembari makan lalapan ayam sambal merica yang membuat tonsilnya terbakar, tersedak. Terbatuk. Keselek. Air matanya merembes. Hingga diraihnya sebotol air mineral lantas diteguknya hingga setengah. Tak ada gunanya! Ia tetap terbatuk. Hingga mbak kos yang kamarnya bersebrangan harus memukul puncak punggungnya beberapa kali. Sebongkah tempe keluar dari rongga mulutnya, terlontar beberapa meter, diikuti bunyi “ewww”. Penulis wajahnya memerah, mbak kos wajahnya nyiyir, mbak kos yang lain tetap membunyikan kata “ewww” dengan nada lebih tinggi, sementara bongkahan tempe tergeletak menyedihkan. Beberapa menit kemudian bongkahan tempe itu dikerubungi semut.

Bicara tentang nikah dadakan, ada kabar mengejutkan dari fakultas seberang yang membuat hati penulis beserta – lagi-lagi – teman sekosnya mencelos. Sang teman kos yang memberikan kabar tersebut berupa weeding invitation via Line mencerocos tak karuan begitu pula sang penulis yang juga terbawa suasana. Sang penulis hebring dan teman kosnya, kau bisa bayangkan sendiri. Berdasar kabar beredar yang ditangkap telinga tajam penulis dan teman kosnya, Sang “Mas” yang berasal dari fakultas sebelah itu menikah tanpa pacaran. “Mas iku loh, gak usah pacaran! Langsung lamar, langsung Jos!” salah seorang teman satu fakultas menimpal. “Duhh, mbk itu beruntung banget sih! Kok mau seh mbk iku karo mas iku”, teman yang lainnya menambahi. “Sopo sing gak mau seh karo mas iku, aku ae yo mau!” dan celutukan itu pun tanpa sadar di “iya” kan olehnya. Seorang MAWAPRES bertampang cakep, delegasi HMUN, seorang motivator, public speaker, petinggi Eksekutif Mahasiswa, dan sudah bekerja. Hanya orang sinting yang tidak heboh, dilamar nikah tapi tak klepekan.  Dan pada saat itulah penulis menyadari sungguh bahwa dunia ini diciptakan Tuhan benar-benar sempit. Sang mempelai wanita adalah kakak dari teman kecil masa SMPnya. Beberapa hari berlalu dan pagi itu adalah pagi paling menyenangkan bagi kedua mempelai sekaligus pagi banjir air mata oleh para wanita yang hatinya tanpa sadar tersakiti. Sang penulis dan teman kosnya, yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapanya, hanya meratap akun Instagram mereka sepanjang hari. Oh cinta, rumit bukan kepala kau rupanya!

Esok paginya, seolah ilham datang melejit, cahaya datang menyilaukan tiap mata memandang, sang penulis dan teman kosnya kembali terbahak menjalani rutinitas. Segala derai dan ratap itu mereka anggap angin lalu saja. Untuk kesekian kalinya aku berdecak. Menggeleng bukan kepayang. Menyanjung kaum hawa yang begitu kuat, beribu-ribu kuatnya dari Ade Rai yang mengangkat ratusan kilo barbel dalam ajang biaragawan. Mereka sanggup menggoreskan seulas senyum dalam wajah-wajah teduh nan hangat itu, padahal jauh didalam kuyakini bahwa goresan luka yang menganga atau bahkan basah tersiram air garam masih ada disana.
****
Tidak ada yang lebih menyenangkan ketimbang menghabiskan masa liburan dengan sengaja bangun kesiangan. Namun, hanyalah ilusi semata yang didapatkan oleh si penulis – dan pula aku – karena diseberang sana, diseberang rumah sang penulis, dipisahkan oleh sebuah tanah kosong dan jalanan setapak, seorang bujang lapuk desa tak henti-hentinya membuat ulah. Bujang lapuk itu sebut saja namannya Sipul. Sedikit kisah yang beredar dikalangan mulut ibu-ibu yasinan yang kebanyakan bergosip bahas arisan ketimbang baca surat Yasin pas waktu malem jum’at, bahwasannya Sipul semenjak kecil memang sudah beda dari kebanyakan orang. Sipul kecil dibesarkan dikalangan keluarga peternak kambing dan sapi yang juga petambak ikan bandeng. Sipul amat menyukai rumput hijau, berenang di air tambak, memanjat pohon keres, dan juga mendendangkan musik koplo. Nampaknya kesenangannya itulah yang membuat Sipul tidak mau sekolah. Yang pertama sewaktu Sipul masih taman kanak-kanak. Sipul yang kebetulan sebaya sepupu penulis tidak mau kesekolah. Berulangkali dibujuk tetap menolak. Diberikan baju baru, menolak. Diberikan tas power ranger warna merah, menolak. Dibujuk uang 500 perak, ia mau sekolah. Berangkatlah ia dengan seragam necis biru laut-putih kebanggaan dan sepatu kumal naik sepeda unta punya bapaknya. Hebat nian anak jaman itu, TK pun sudah bisa naik sepeda besar. Tengah jalan, ia belok haluan ke warung pinggir kali. Beli krupuk dan gorengan lantas ke tambak, ngelewatin kuburan, renang cipak-cipik seharian. Suminih, sang ibu cemas. Sudah Ashar sang anak belum pulang. Datanglah ke rumah sang penulis, menanyai si Sipul pada sepupunya. Sang sepupu menggeleng, Sipul lagi-lagi absen. Memang tabiat orang jawa bagian timur, desa pula. Ada apa-apa selalu teriak-teriak, tetangga gundam, satu RT keluar. Sipul dicari di penujuruh desa. Kebun pisang, atap rumah, balai desa, jublang belakang rumah, sampai jamban semua tak ada. Sumini nangis meraung-raung, menyakini anaknya digondol wewe. Salah seorang warga lari tergopoh, melapor melihat kain warna biru muda mengambang di jublang belakang rumah pak lurah, jublang paling dalam plus diyakini ada penunggunya. Sumini raungannya naik beberapa level, wajahnya merah, air mata merebak bak kucuran air talang. Asumsi Sipul digondol kalap (wewe yang tinggalnya di air) makin kuat. 

Dari kejauhan seorang bocah lelaki bertelanjang dada berkulit hitam bersiul riang. Dituntunya sepeda unta tua itu sambil menyampirkan pakaian di pundaknya. Sampailah ia dikerumunan, orang-orang yang bergemul bak lebah kehilangan ratunya langsung diam cekam. Sumini yang matannya merembes, mulutnya meraung-raung diam bukan kepayang. Itu si Sipul. Dan kain biru yang diduga si Sipul tadi nyatannya cuman plastis bukus so klin yang ngambang hampir lumutan. Jangan salahkan Paijo, warga yang mengira itu Sipul, matannya memang rada rabun. Salah pula warga satu RT percaya mentah omongan orang yang matannya rada rabun. Malamnya Sumini mencambuk habis si Sipul pakai kayu klorak yang banyak tumbuh pinggir jublang. Bukan Sipul namanya kalo dia nangis. Esok paginya Sipul kesekolah bareng Rudi, sepupu penulis, yang dianter ibuknya. Alasannya biar Sipul ada yang mengawasi dan gak pergi ke warung lalu bablas kemana-mana. Kakinya lecet-lecet tapi masih tetep cengengas- cengenges. 


Sumber: Disini

Kasus kedua waktu Sipul jaman Sekolah Dasar. Kuberitahu kau pembaca yang budiman, desa kami terdiri dari tiga dusun. Sebut saja Dusun Sana, Dusun Sini, dan Dusun Situ. Hanya ada satu SD dan dua Madrasah Ibtidaiyah di desa. Letaknya merata, tiap dusun satu sekolah. Tapi sayang seribu sayang. Dusun Sana, tempat Sipul tinggal diduduki Madrasah. Madrasah disana tidak maju-maju amat. Satu kelas paling banyak muridnya cuman delapan. Satu sekolah cuman ada tiga ruang, alhasil satu ruang dihuni dua kelas yang dibatasi dinding triplek reyot yang jika digeser bunyinya khas nian. Tiap hari kelas berjalan, berasa sahut-sahutan. Macam kondektur bis ngangkut penumpang, selalu bilang kosong-kosong, kalopun dilihat bus pun sudah berjubel. Desak-desak, penumpang megap-megap kurang udara. Sudah macam ikan koi yang kedarat. Memang minta disubal mulut kondektur yang begitu itu! Sumini, walopun cuman peternak yang merangkap jadi petambak begitu peduli dengan nasib pendidikan anaknya. Ia menyekolakan Sipul ke SD dusun seberang, Dusun Situ. Sekolah paling maju, paling jempol di desa!

Tiap hari Sipul berangkat menempuh jarak dua kilo naik sepeda unta kepunyakan bapaknya. Dua tahun berlalu, Sipul melawati hari-harinya dengan riang. Namun, suatu hari malam petaka datang. Sipul menolak sekolah. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Telah habis cara Sumini membujuknya, mulai mencambuk pakai kayu klorak sampai kayu rotan tak mempan. Bu Maseni, wali kelas Sipul datang kerumah. Menanyai perihal Sipul tak masuk sekolah berminggu lamanya. Alasan Sipul sebenernya simpel. Sipul tak bisa pelajaran titik! Pelajaran kelas dua itu dianggap amatlah susah. Sipul tak sanggup. Otaknya tidak paham apa itu pelajaran-pelajaran “Ini Ani Itu Budi”. Sipul benar-benar tak sanggup!

Bukan Bu Maseni namanya jika habis akalnya. Pertama Sipul cuman disuruh berangkat sekolah saja. Tak usahlah dipikir pelajaran “Ini Ani Itu Budi”, yang penting duduk sambil manggut-manggut, berangkat-pulang riang itulah cukup. Sipul menurut. Hingga perlahan, Sipul mau ikut ujian (tentunya nyontek temannya), mengerjakan tugas kelompok (Sipul cuman datang, main-main, lalu pulang. Biasalah anak perempuan yang kerja), hingga mengerjakan PR (walopun itu juga contekan). Tanpa dirasa, walaupun terseok-seok, Sipul akhirnya kelas enam. Waktunya EBTANAS. Sumini, ibunda Sipul, mana tahulah system itu ujian. Yang dia tahu ia berdoa agar Sipul lulus. Yang bingung malah guru-guru Sipul. Mereka bingung bukan kepayang, memutar otak agar Sipul lulus dan segera “minggat” dari sekolah. Brilian benar otak guru-guru Sipul itu, dengan sebuah konspirasi kecil Sipul lulus EBTANAS. Kau tahu kah apa itu konspirasi? Itu semacam makanan wajib yang diperdendangkan kala musim coblosan datang. Kuberitahu kau pembaca yang budiman, konspirasi untuk Sipul adalah: menyuruh anak pintar di kelas menyonteki Sipul. Jadi beginilah prosesnya, sang anak pintar dikelas mencatat semua jawabannya diselembar kertas. Menyimpannya di saku lantas izin kebelakang. Dibelakang sana sang guru sedang setia menunggu. Sang anak pintar menyerahkan kertas pada sang guru, lantas kembali ke kelas. Di saat itulah Sipul beraksi. Ia ikutan izin pengen pipis, pengawas yang tanpa curiga mengizinkan. Sipul berlarian menuju sang guru dan menerima jawabannya. Senang benar hati si Sipul. Sambil senyum samar ia balik ke kelas lalu mengisi lembar jawabannya yang masih kosong melompong. Lima menit berlalu, ibarat ilham dari langit ketujuh. Kekuatan Buddha pun kalah, jawaban Sipul sudah Full! Weladalah, hebat bener anak pendendang lagu koplo itu! Dengan semringah ia melangkah, mengumpulkan lembar jawabannya, lantas pulang dan kembali renang cipak-cipik di tambak seharian sambil nyari buah keres. Dua bulan kemudian, hasil ujian keluar. Sipul Lulus. Senang bukan main hatinya, hati ibunya, yang paling penting hati guru-guru SDnya. Mereka sudah bebas tanggungan menangani bocah itu. Semuannya sumringah! Kecuali si bocah pintar pemberi jawaban. Nilainya nomer dua dari bawah. Padahal setengah mati ia belajar. Yang paling menyayat hati adalah Si Sipul yang rumus bujur sangkar sisixsisi pun tak hafal nilannya masuk lima besar. Si pintar makin mbleberlah air matannya. Hatinya mencelos, Ia pulang tersedu-sedu. Dilain tempat, Sumini, ibu Sipul menyuruhnya melanjutkan ke SMP. Biaya berapapun tak masalah. Kalopun tak punya biaya, dijualnya satu ekor kambing burik kepunyakannya. Sudahlah lebih dari cukup. Sipul menurut, mendaftarkan nilainnya ke SMP baling bagus se-kecamatan. Bahkan jangkrik yang berderik dimalam haripun meloncat, Sipul diterima. Sipul masuk sekolah elit se-kecamatan. Sekolah paling top, paling jempol!

Masa SMP Sipul tidaklah beda dengan masa-masa sebelumnya. Sipul, yang memang otaknya pas-pas an makin tambah konslet ketika dihadapkan pada rumus aritmatika aljabar yang lebih mirip artefak purbakala di matannya. Ditambah makin banyaknya teman Sipul yang berangkat naik motor, membuat sipul kecil hati, kesepian, dan hatinya mencelos tiap pulang sekolah seorang diri naik sepeda onta tua peninggalan bapaknya. Pernah suatu ketika Sabrang, tetangga desanya, ngebut dengan sengaja ingin pamer motor Honda SupraX hitam miliknya. Asap mengepul dan debu bertebrangan. Sipul yang kala itu sedang santai mengayuh sepeda, terbatuk, dan matannya kelilipan. Jengkel lah hatinya setengah mati. Malam harinya, dengan segala kecamuk dihati ia menghadap si emak. Mengutarakan segala keluh kesahnya dan meminta ingin berhenti sekolah. Sipul tak tega meminta motor pada ibunya. Ibunya hanya seorang janda paruh baya, menyekolahkan anaknya saja terseok-seok. Akhirnya, dengan dalih ia sering pingsan waktu disekolah, ibunya mengijinkan. “Walah le, sekarepmu wes. Emak ora ngurus, wes pegel. Nek ngono yo garapen tambak, le!” (Walah nak, ibu gak peduli, sudah capek. Kalo begitu sana urus tambak!), seraya memingkis dasternya, Sumini, emak Sipul beranjak sambil terus bergumal.
****
Aku menekuri laptop, tanpa terasa telah lebih dari 20 jam aku tak tidur, itu adalah konotasi dari begadang. Ah, kumohon kau untuk tidak mulai mendendangkan lagu milik Bang Haji Rhoma Israma itu – Begadang. Kau tahu, lama-lama itu membuatku muak. Adzan shubuh telah lepas dikumandangkan. Setelah menuaikan shalat, bergegaslah aku menuju teras belakang rumah, memakai sepasang sandal jepit kebesaran milik kakek, lantas duduk melipat kaki diatas kursi bambu. Kuhirup dalam udara sejuk pagi hari seraya mengedarkan pandangan ke arah ufuk timur. Disanalah kudapatkan sesosok pemuda tengah menggotong sekarung hasil bumi dengan nafas terengah. Kusipitkan kedua mata, mempertajam pandangan. Jessy, tanpa biasa terdiam. Entahlah, mungkin ia lelah sehabis mencerocos lebar di atas. Satu saran pembaca yang akan aku berikan, jangan ganggu ia atau kau akan mengalami hari paling buruk. Memutar otak aku mengingat orang itu, Ialah Sipul. Tetangga seberang rumah. Sangat jarang dijumpainya seorang pemuda, ah bukan -Bujang lapuk-, disaat pagi buta, kerja keras banting tulang. Jessy sadar, setiap orang memiliki pilihan dan berhak untuk memilih. Entah itu aku, maupun bujang lapuk itu. Oh, tertnyata ia telah mendapat kembali kesadarannya. Baiklah pilihan paling bijak yang aku lakukan adalah Diam sambil mendengarkan ia melanjutkan “dongengannya”. Apapun itu, Jessy tahu bahwa siapapun bujang lapuk bernama Sipul itu adalah bujang yang senakal-nakalnya tidak mau mendurhakai orangtuanya. Karena hal yang biasa bagi orang, belum tentu biasa bagi orang lain. Aku tersenyum, kembali mengedar pandang ke langit. Baru kusadari, kadangkala Jessy bisa jadi teman paling dekat dan dapat kupercaya yang pernah aku miliki. Aku tersenyum simpul. Ah, Indahnya piringan bimasakti, membentang melintas ekuator. Diikuti burung-burung yang bernyanyi menyambut indahnya pagi. 

Sembari mengagumi kuasa Tuhan akan indahnya langit bimasakti, tanpa sadar diseberang sana, seorang pemuda dengan kacamata yang bertengger di wajahnya mengamati dengan senyum. Dipegangnya erat kamera infrared yang menggantung dileher, mendekatkan pada matannya, lantas menekan tombol hingga terdengar bunyi “krik”. Dilihanya hasil jepretan tersebut sambil masih tersenyum simpul. Ia mengedarkan pandangan, barulah sadar sebuah Bunga bewarnah ungu muda berada didekatnya. Sebelum benar-benar beranjak, dipetiknya bunga tersebut lantas ia benar-benar pergi.
(Bersambung dalam edisi- Lelaki Berkacamata yang Misterius)


 Sumber: Disini

P.s:  Foto lelaki diatas membuat penulis seraya ingin berteriak! AH!
P.s.s: Penulis akhir-akhir ini tergila-gila dengan lelaki berkacamata selepas menonton serial dokter ganteng berkacamata.
P.s.s.s: Jangan ganggu penulis dengan fantasi liarnya atau kau akan menyesal

Dituliskan Oleh:
Arlinda Silva Prameswari
Februari,2nd 2016 11.00 (+7GMT)
Hari Pasca Flu
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar