Satu
dari sekian hal yang sering dilakukan mahasiswa, dalam hal ini seorang
introvert, adalah mengamati lingkungan. Sebagian orang berfikir bahwa
lingkungan tempat mereka berinteraksi adalah “itu-itu saja”, nothing interest! Sebagian pula mungkin
berserapah dalam otaknya mengatakan bahwa kegiatan dengan label “mengamati
lingkungan” adalah suatu hal konyol yang memboroskan waktu. Hal tersebut pun
berlaku pada orang dengan ideologis dangkal yang berada di zona nyamannya.
Mereka cenderung masa bodoh. Namun, hal di atas tidak berlaku dengan bocah ini.
Seorang bocah yang kata kebanyakan teman sekelasnya lebih banyak berkutat
dengan laptop dan buku-buku tebal, saking tebalnya hingga dapat kau jadikan
alas kepala ketika kuliah pakar tiba. Bocah lelaki yang watak tabiatnya
terkadang bertolak dengan sifat pribadinya. Bocah yang sering diam saat
teman-temannya saling celutuk karena kalah main game COC tapi berteriak lantang
saat diskusi forum terbuka. Dan bocah lelaki ini lebih suka jalan-jalan
menyusuri bantaran kali ibu kota ketimbang nongkrong di warung kopi, seperti
yang ia sedang lakukan sekarang. Sambil menggenggam sekantong kresek hitam
sedang, ia menghela nafas panjang. Sandal jepit karet yang ia kenakan
menimbulkan bunyi khas diikuti debu-debu halus berhamburan setiap kali kakinya
melangkah. Dari kejauhan terdengar teriakan kecil memanggil namannya. Ia lantas
menghentikan langkah dan celingukan mencari sumber suara. Tidak lama ia merasa
seseorang memeluk kakinya lembut dari belakang sambil tertawa cengingisan.
Seorang anak perempuan usia sekitar lima tahun, berpakaian dekil, dan rambut
dikepang dua menggumamkan kata rindu padannya. Memang benar sudah satu bulan
ini ia tidak berkunjung lantaran sibuk dengan tugas kuliah dan project paper garapannya. Lelaki itu
terkekeh lembut, membuat kedua bahunya bergetar. Ia berbalik, menyamakan
posisinya dengan anak perempuan itu. Tangan kanannya mengacak asal rambut anak
itu membuanya mencerucutkan bibir kesal. Ia lantas tersenyum hingga nampak
lesung pipinya, diikuti oleh si anak perempuan.
“Aku
membawakanmu ini, mau makan bareng?” Lelaki tersebut mengangkat kresek hitam
yang sedari tadi digenggangnya erat di hadapan anak itu. Si anak membuka
mulutnya kecil menampilkan ekspresi girang. Seakan tahu apa isi kantong kresek
tersebut, si anak langsung mengangguk dua kali. Anggukan yang cukup cepat,
pikir lelaki itu. Si anak pun menarik jemari si lelaki membuat ia dengan
terpaksa berdiri dan mengekor. Angin berhembus ringan menerpa mereka, membuat
rambut-rambut hitam itu seolah menari mengikuti melodi dalam sebuah lagu. Bulan
ini adalah Bulan September. Angin di bulan ini berhembus dari arah barat (benua
Asia) melewati lautan Hindia menuju ke arah timur selatan (benua Australia)
membawa titik-titik air. Lelaki itu cemas karena artinya dalam waktu dekat
banjir akan tiba. Namun, kecemasan itu tidaklah berkepanjangan karena ia tahu Bulan
September selalu membawa cerita. Bulan dimana angin berhembus kencang mengantar
hawa dingin dan datangnya butiran salju. Dedaunan menguning kecoklatan, lantas
jatuh perlahan mengikuti gravitasi. Jika kau adalah pendengar yang handal,
gemersak dedaunan yang selaras dengan bunyi detikan jarum jam akan menghasilkan
sebuah melodi lembut bernama nostalgia. Satu dari sekian alasan mengapa begitu
banyak lagu dengan membawa nama “September” tercipta.
****
“Wah,
Nak David gimana kuliahnya?” Seorang pria paruh baya dengan kumis tipis
diwajahnya tengah sibuk meletakkan beberapa piring di alas tikar yang nampak berlubang,
namun masih layak pakai. Seorang lelaki, yang diketahui bernama David,
tersenyum. Tangannya sibuk membuka bungkus plastik dan menuangkan isinya pada
piring-piring tersebut sambil menyahut bahwa jadwal kuliah yang tidak menentu
cukup membuat kepalanya pecah dan kegiatannya jadi amburadul. Sementara disebelahnya,
Naura, anak perempuan yang mengajaknya kemari tadi dengan cepat mengambil
sendok dan memasukkan isi piring ke dalam mulutnya. David melirik, tanpa tahu
hatinya terasa hangat dan ia pun tersenyum.
“Ya
namannya juga kuliah, harus sabar. Kan calon dokter”, Pak Wardi terkekeh dengan
suarannya yang khas. Ia lantas duduk menyilangkan kaki dan mengambil sebuah
sendok, memakan bubur ayam yang dibawakan David dengan lahap. Sementara Naura
menyahut mengatakan bahwa suatu saat ia ingin menjadi dokter yang ramah dan cakep
seperti dirinya. Mendengar kata “cakep” keluar dari mulut seorang bocah membuat
ia terbahak menggelengkan kepala. Maklumlah, seumur-umur belum pernah ada yang
bilang langsung kalau dirinya itu cakep. Tentu saja pengecualian untuk mama dan
neneknya yang berkoar mengatakan punya anak atau cucu lelaki cakep sekaligus calon
dokter saat acara arisan atau pengajian bulanan. Sementara itu, Pak Wardi hanya
tersenyum seraya berkataa “Insyaallah”. Detik kemudian David menyadari sesuatu.
Sesuatu yang menurutnya penting. Benar, ia melupakan seseorang.
“Ibuk
Mirna kemana, pak?” Pak Wardi tidak langsung menjawab. Diteguknya segelas air
mineral lantas ia mendesah mengatakan bahwa wanita yang David cari sedang sakit
demam, sudah tiga hari ini. Ibu Mirna adalah istri Pak Wardi. Seorang wanita
bermurah senyum dan hangat hati yang mengingatkan ia pada mamanya. Salah satu
alasan kala rindu berasa sulit dihapus ia akan mengunjungi rumah Pak Wardi. Dan
Setiap kali ia berkunjung, Ibu Mirna selalu menyuguhkan bahkan menyangoni apapun yang dimilikinya pada
David hingga terkadang membuat lelaki itu merasa tidak enak.
David
mengerutkan dahi. Seolah paham, Pak Wardi beranjak diikuti lelaki itu menuju
kamar tempat Ibu Mirna berada. Seorang wanita tengah tergolek lemah di atas
tempat tidur reyot yang tebuat dari kayu yang mulai merapuh. Wajahnya memerah
dan sekujur badannya diselimuti oleh dua lapis selimut, namun masih belum cukup
juga karena wanita itu tetap saja menggigil. Bibirnya kering dan ia tampak
menggumamkan kata-kata tidak jelas. Ia berhalusinasi – atau mimpi buruk? David
tidak tahu pasti, yang ia ingat hanyalah saat demam ia bermimpi buruk dan membayangkan
hal yang tidak menyenangkan. Lelaki itu melangkah perlahan dan decitan bunyi
kayu terdengar tatkala ia meletakkan bokongnya duduk di pinggiran tempat tidur
dimana wanita tersebut berbaring. Diletakkanya punggung telapak tangannya di
dahi wanita tersebut, berusaha merasakan panas tubuh yang terpancar. Ini
sungguh panas sekitar 41 derajat, David bergumam. Ia mulai cemas. Tanpa sadar
ia menggigit bibir bawahnya dan menarik tangannya kembali.
“Kenapa
tidak dibawa ke rumah sakit, pak? Sekarang ada BPJS. Jadi nggak pakai bayar”. Detik kemudian wajah Pak Wardi memerah dan
tangan kanannya diangkat menutupi kedua kelopak matannya. Pak Wardi menangis.
David mulai paham keadaannya.
****
Sesampainya di
kos, David menyalakan laptop miliknya dan mulai merangkai kata demi kata dengan
rasa emosional. Ia menulis sebuah petisi yang ditujukan pada kementrian
kesehatan tentang pelayanan BPJS yang sangat amburadul dan tidak professional
sekaligus penggalangan dana untuk pengaobatan Ibu Mirna. Ibu Mirna yang datang
kerumah sakit bersama Pak Wardi ditolak dan diperlakukan kasar karena mereka
adalah pasien BPJS. Padahal menurut paparan di media mengatakan bahwa BPJS
dapat digunakan di semua rumah sakit di wilayah ibu kota. Kesehatan di
Indonesia kian hari makin membawa dilematik. Pemerintah dengan gencar
mengatakan peningkatan kesehatan, tetapi hasil lapangan begitu memprihatinkan.
Sistem kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah sekarang ini tidak lebih dari
sebuah sistem yang pincang. Padahal kesehatan adalah salah satu yang
ditargetkan tercapai tahun 2015 dalam Deklarasi Milenium. Revolusi mental yang
digadang-gadang akan membawa perubahan hanyalah sebuah kiasan tanpa realitas. David
berharap tindakan yang ia lakukan ini dapat menarik perhatian para nitizen dan
suarannya sampai pada para elit politik.
Seminggu kemudian petisi yang ditulis oleh David mendapat jutaan tanda
tangan dan dana yang terkumpul lebih dari yang ditargetkan. Detik itu David
baru menyadari bahwa internet dan media sosial adalah kekuatan terbesar abat
duapuluh satu. Beberapa aliansi mahasiswa pun mendatangi David secara langsung
untuk memberikan bantuan dana, seperti yang sedang terjadi kali ini. Namun, ia
memutuskan untuk memberikannya langsung pada Pak Wardi agar dana dapat segera
digunakan. Dengan membawa satu kantong kresek bubur ayam ia bersama perwakilan
rombongan aliansi mahasiswa beramai-ramai mendatangi rumah Pak Wardi di daerah
Salemba bagian timur. Dalam hati David bergemuruh merasa terharu sekaligus
senang bahwa masih ada jiwa-jiwa yang peduli dengan para minoritas dibalik
kejamnya ibu kota. Para pemuda yang bersamannya juga tidak sabar bertemu dengan
Pak Wardi dan melihat wajah lelaki paruh baya itu tersenyum. Dahi David
membentuk kerutan samar tatkala dari kejauhan ia melihat gerombolan orang
tengah berkumpul di depan halaman rumah seseorang. David menurunkan kecepatan
langkahnya, diikuti orang-orang dibelakangnya. Ia terdiam, tangannya bergetar
hingga tanpa sadar kantung kresek yang dibawanya terjatuh. “Tidak, Tidak
mungkin!”, hatinya berteriak menampik semua spekulasi yang ada dalam otaknya.
Ia berlari kecil menuju gerombolan itu, sementara orang-orang yang bersamannya
tadi melihat punggung David yang semakin menjauh seraya menatap satu sama lain.
Ketika langkah David makin dekat dengan keramaian itu, dilihatnya seorang
lelaki paruh baya dengan kumis tipis diwajahnya tidak sadarkan diri. Salah
seorang warga dengan peci hitam dan sarung bermotif tampak kepayahan
menyadarkan lelaki tersebut. Dan saat ia menolehkan pandangan ke dalam rumah
yang dia dapatkan adalah sebuah keranda berwarna hijau diikuti bau wewangian
khas melati. David marah, tapi ia tidak tahu pada siapa ia marah. Tanpa sadar
pandangannya memburam. Ia terduduk karena yang dia lihat hanyalah bayangan
samar-samar. Ibu Mirna telah beristirahat dengan tenang.
****
Tiga
bulan kemudian…..
“Jika anda tidak
memahami masa lalu, maka anda tidak akan mengerti masa sekarang, dan anda akan
kesulitan membayangkan masa depan”. David tengah duduk, mendengrakan dengan
cermat kata demi kata yang dilontarkan pembica kuliah tamu siang ini. Pembicara
diskusi kali ini begitu istimewa, Pak Salim Saidi namanya. Salah seorang dokter
konsulen sekaligus orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap sosial. Ia
mendirikan beberapa rumah sakit di daerah nusa tenggara dan semua itu digratiskan
olehnya. Kejadian yang menimpa almarhuma Ibu Mirna sudah lebih dari cukup
baginya sebagai pelajaran. Sembari berfikir ia teringat pada Daniel H Pink
(2005) melalui bukunya A Whole New Mind menyatakan
bahwa pada era abad ke-21, telah bergerak dari era informasi ke era konseptual.
Artinya, di abad ke-21 seseorang akan berhasil hidupnya, jika dia menguasai
konsep atau ide daripada hanya menguasai informasi. Ia belajar bahwa untuk
menjadi seorang dokter tidak hanya dibutuhkan kepandaian dalam ilmu kedokteran
tetapi, juga harus pandai bertindak dalam segala keterbatasan. Jika saja waktu
itu ia tidak harus menunggu agar mendapat dukungan, mungkin Naura masih
memiliki ibu. Jika saja saat itu ia tahu harus melakukan apa, pasti Pak Wardi
tidak akan sendiri. Jika saja ia lebih berani dan bertindak sedikit nekat
dengan membawa Ibu Mirna ke rumah sakit, mungkin ia masih mendengar seruan
hangatnya. Tapi, apapun itu David bertekat bahwa ia tidak akan membiarkan hal
ini terulang kembali. Tidak sekalipun, karena pada dasarnya semua itu terjadi
tidak secara kebetulan. Karena Tuhan itu tidak bermain dadu yang hasilnya vuoto, serba mungkin.
Sumber: Di sini
Catatan Penulis:
Cerita ini telah dipublikasikan dalam Majalah Kedokteran Nasional "SPEKTRUM" Edisi November 2015
Diterbitkan oleh BPN - ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia)
Untuk versi online majalah dapat anda klik disini

Tidak ada komentar:
Posting Komentar