Pembuka

Laman seorang pemikir salah kaprah yang menulis seenak kupingnya. Tulisan di laman ini adalah murni dari penulis. Beberapa artikel mungkin mengandung unsur "doktrin" ataupun "opini serapah"

Gambar Header

Gambar Header

Minggu, 24 Januari 2016

Vuoto, "Tuhan Tidak Bermain Dadu"



Satu dari sekian hal yang sering dilakukan mahasiswa, dalam hal ini seorang introvert, adalah mengamati lingkungan. Sebagian orang berfikir bahwa lingkungan tempat mereka berinteraksi adalah “itu-itu saja”, nothing interest! Sebagian pula mungkin berserapah dalam otaknya mengatakan bahwa kegiatan dengan label “mengamati lingkungan” adalah suatu hal konyol yang memboroskan waktu. Hal tersebut pun berlaku pada orang dengan ideologis dangkal yang berada di zona nyamannya. Mereka cenderung masa bodoh. Namun, hal di atas tidak berlaku dengan bocah ini. Seorang bocah yang kata kebanyakan teman sekelasnya lebih banyak berkutat dengan laptop dan buku-buku tebal, saking tebalnya hingga dapat kau jadikan alas kepala ketika kuliah pakar tiba. Bocah lelaki yang watak tabiatnya terkadang bertolak dengan sifat pribadinya. Bocah yang sering diam saat teman-temannya saling celutuk karena kalah main game COC tapi berteriak lantang saat diskusi forum terbuka. Dan bocah lelaki ini lebih suka jalan-jalan menyusuri bantaran kali ibu kota ketimbang nongkrong di warung kopi, seperti yang ia sedang lakukan sekarang. Sambil menggenggam sekantong kresek hitam sedang, ia menghela nafas panjang. Sandal jepit karet yang ia kenakan menimbulkan bunyi khas diikuti debu-debu halus berhamburan setiap kali kakinya melangkah. Dari kejauhan terdengar teriakan kecil memanggil namannya. Ia lantas menghentikan langkah dan celingukan mencari sumber suara. Tidak lama ia merasa seseorang memeluk kakinya lembut dari belakang sambil tertawa cengingisan. Seorang anak perempuan usia sekitar lima tahun, berpakaian dekil, dan rambut dikepang dua menggumamkan kata rindu padannya. Memang benar sudah satu bulan ini ia tidak berkunjung lantaran sibuk dengan tugas kuliah dan project paper garapannya. Lelaki itu terkekeh lembut, membuat kedua bahunya bergetar. Ia berbalik, menyamakan posisinya dengan anak perempuan itu. Tangan kanannya mengacak asal rambut anak itu membuanya mencerucutkan bibir kesal. Ia lantas tersenyum hingga nampak lesung pipinya, diikuti oleh si anak perempuan. 

“Aku membawakanmu ini, mau makan bareng?” Lelaki tersebut mengangkat kresek hitam yang sedari tadi digenggangnya erat di hadapan anak itu. Si anak membuka mulutnya kecil menampilkan ekspresi girang. Seakan tahu apa isi kantong kresek tersebut, si anak langsung mengangguk dua kali. Anggukan yang cukup cepat, pikir lelaki itu. Si anak pun menarik jemari si lelaki membuat ia dengan terpaksa berdiri dan mengekor. Angin berhembus ringan menerpa mereka, membuat rambut-rambut hitam itu seolah menari mengikuti melodi dalam sebuah lagu. Bulan ini adalah Bulan September. Angin di bulan ini berhembus dari arah barat (benua Asia) melewati lautan Hindia menuju ke arah timur selatan (benua Australia) membawa titik-titik air. Lelaki itu cemas karena artinya dalam waktu dekat banjir akan tiba. Namun, kecemasan itu tidaklah berkepanjangan karena ia tahu Bulan September selalu membawa cerita. Bulan dimana angin berhembus kencang mengantar hawa dingin dan datangnya butiran salju. Dedaunan menguning kecoklatan, lantas jatuh perlahan mengikuti gravitasi. Jika kau adalah pendengar yang handal, gemersak dedaunan yang selaras dengan bunyi detikan jarum jam akan menghasilkan sebuah melodi lembut bernama nostalgia. Satu dari sekian alasan mengapa begitu banyak lagu dengan membawa nama “September” tercipta.

****

“Wah, Nak David gimana kuliahnya?” Seorang pria paruh baya dengan kumis tipis diwajahnya tengah sibuk meletakkan beberapa piring di alas tikar yang nampak berlubang, namun masih layak pakai. Seorang lelaki, yang diketahui bernama David, tersenyum. Tangannya sibuk membuka bungkus plastik dan menuangkan isinya pada piring-piring tersebut sambil menyahut bahwa jadwal kuliah yang tidak menentu cukup membuat kepalanya pecah dan kegiatannya jadi amburadul. Sementara disebelahnya, Naura, anak perempuan yang mengajaknya kemari tadi dengan cepat mengambil sendok dan memasukkan isi piring ke dalam mulutnya. David melirik, tanpa tahu hatinya terasa hangat dan ia pun tersenyum.
“Ya namannya juga kuliah, harus sabar. Kan calon dokter”, Pak Wardi terkekeh dengan suarannya yang khas. Ia lantas duduk menyilangkan kaki dan mengambil sebuah sendok, memakan bubur ayam yang dibawakan David dengan lahap. Sementara Naura menyahut mengatakan bahwa suatu saat ia ingin menjadi dokter yang ramah dan cakep seperti dirinya. Mendengar kata “cakep” keluar dari mulut seorang bocah membuat ia terbahak menggelengkan kepala. Maklumlah, seumur-umur belum pernah ada yang bilang langsung kalau dirinya itu cakep. Tentu saja pengecualian untuk mama dan neneknya yang berkoar mengatakan punya anak atau cucu lelaki cakep sekaligus calon dokter saat acara arisan atau pengajian bulanan. Sementara itu, Pak Wardi hanya tersenyum seraya berkataa “Insyaallah”. Detik kemudian David menyadari sesuatu. Sesuatu yang menurutnya penting. Benar, ia melupakan seseorang.  
“Ibuk Mirna kemana, pak?” Pak Wardi tidak langsung menjawab. Diteguknya segelas air mineral lantas ia mendesah mengatakan bahwa wanita yang David cari sedang sakit demam, sudah tiga hari ini. Ibu Mirna adalah istri Pak Wardi. Seorang wanita bermurah senyum dan hangat hati yang mengingatkan ia pada mamanya. Salah satu alasan kala rindu berasa sulit dihapus ia akan mengunjungi rumah Pak Wardi. Dan Setiap kali ia berkunjung, Ibu Mirna selalu menyuguhkan bahkan menyangoni apapun yang dimilikinya pada David hingga terkadang membuat lelaki itu merasa tidak enak. 

David mengerutkan dahi. Seolah paham, Pak Wardi beranjak diikuti lelaki itu menuju kamar tempat Ibu Mirna berada. Seorang wanita tengah tergolek lemah di atas tempat tidur reyot yang tebuat dari kayu yang mulai merapuh. Wajahnya memerah dan sekujur badannya diselimuti oleh dua lapis selimut, namun masih belum cukup juga karena wanita itu tetap saja menggigil. Bibirnya kering dan ia tampak menggumamkan kata-kata tidak jelas. Ia berhalusinasi – atau mimpi buruk? David tidak tahu pasti, yang ia ingat hanyalah saat demam ia bermimpi buruk dan membayangkan hal yang tidak menyenangkan. Lelaki itu melangkah perlahan dan decitan bunyi kayu terdengar tatkala ia meletakkan bokongnya duduk di pinggiran tempat tidur dimana wanita tersebut berbaring. Diletakkanya punggung telapak tangannya di dahi wanita tersebut, berusaha merasakan panas tubuh yang terpancar. Ini sungguh panas sekitar 41 derajat, David bergumam. Ia mulai cemas. Tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya dan menarik tangannya kembali. 
“Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit, pak? Sekarang ada BPJS. Jadi nggak pakai bayar”. Detik kemudian wajah Pak Wardi memerah dan tangan kanannya diangkat menutupi kedua kelopak matannya. Pak Wardi menangis. David mulai paham keadaannya.

****

Sesampainya di kos, David menyalakan laptop miliknya dan mulai merangkai kata demi kata dengan rasa emosional. Ia menulis sebuah petisi yang ditujukan pada kementrian kesehatan tentang pelayanan BPJS yang sangat amburadul dan tidak professional sekaligus penggalangan dana untuk pengaobatan Ibu Mirna. Ibu Mirna yang datang kerumah sakit bersama Pak Wardi ditolak dan diperlakukan kasar karena mereka adalah pasien BPJS. Padahal menurut paparan di media mengatakan bahwa BPJS dapat digunakan di semua rumah sakit di wilayah ibu kota. Kesehatan di Indonesia kian hari makin membawa dilematik. Pemerintah dengan gencar mengatakan peningkatan kesehatan, tetapi hasil lapangan begitu memprihatinkan. Sistem kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah sekarang ini tidak lebih dari sebuah sistem yang pincang. Padahal kesehatan adalah salah satu yang ditargetkan tercapai tahun 2015 dalam Deklarasi Milenium. Revolusi mental yang digadang-gadang akan membawa perubahan hanyalah sebuah kiasan tanpa realitas. David berharap tindakan yang ia lakukan ini dapat menarik perhatian para nitizen dan suarannya sampai pada para elit politik.

Seminggu kemudian petisi yang ditulis oleh David mendapat jutaan tanda tangan dan dana yang terkumpul lebih dari yang ditargetkan. Detik itu David baru menyadari bahwa internet dan media sosial adalah kekuatan terbesar abat duapuluh satu. Beberapa aliansi mahasiswa pun mendatangi David secara langsung untuk memberikan bantuan dana, seperti yang sedang terjadi kali ini. Namun, ia memutuskan untuk memberikannya langsung pada Pak Wardi agar dana dapat segera digunakan. Dengan membawa satu kantong kresek bubur ayam ia bersama perwakilan rombongan aliansi mahasiswa beramai-ramai mendatangi rumah Pak Wardi di daerah Salemba bagian timur. Dalam hati David bergemuruh merasa terharu sekaligus senang bahwa masih ada jiwa-jiwa yang peduli dengan para minoritas dibalik kejamnya ibu kota. Para pemuda yang bersamannya juga tidak sabar bertemu dengan Pak Wardi dan melihat wajah lelaki paruh baya itu tersenyum. Dahi David membentuk kerutan samar tatkala dari kejauhan ia melihat gerombolan orang tengah berkumpul di depan halaman rumah seseorang. David menurunkan kecepatan langkahnya, diikuti orang-orang dibelakangnya. Ia terdiam, tangannya bergetar hingga tanpa sadar kantung kresek yang dibawanya terjatuh. “Tidak, Tidak mungkin!”, hatinya berteriak menampik semua spekulasi yang ada dalam otaknya. Ia berlari kecil menuju gerombolan itu, sementara orang-orang yang bersamannya tadi melihat punggung David yang semakin menjauh seraya menatap satu sama lain. Ketika langkah David makin dekat dengan keramaian itu, dilihatnya seorang lelaki paruh baya dengan kumis tipis diwajahnya tidak sadarkan diri. Salah seorang warga dengan peci hitam dan sarung bermotif tampak kepayahan menyadarkan lelaki tersebut. Dan saat ia menolehkan pandangan ke dalam rumah yang dia dapatkan adalah sebuah keranda berwarna hijau diikuti bau wewangian khas melati. David marah, tapi ia tidak tahu pada siapa ia marah. Tanpa sadar pandangannya memburam. Ia terduduk karena yang dia lihat hanyalah bayangan samar-samar. Ibu Mirna telah beristirahat dengan tenang.
****
Tiga bulan kemudian…..

“Jika anda tidak memahami masa lalu, maka anda tidak akan mengerti masa sekarang, dan anda akan kesulitan membayangkan masa depan”. David tengah duduk, mendengrakan dengan cermat kata demi kata yang dilontarkan pembica kuliah tamu siang ini. Pembicara diskusi kali ini begitu istimewa, Pak Salim Saidi namanya. Salah seorang dokter konsulen sekaligus orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap sosial. Ia mendirikan beberapa rumah sakit di daerah nusa tenggara dan semua itu digratiskan olehnya. Kejadian yang menimpa almarhuma Ibu Mirna sudah lebih dari cukup baginya sebagai pelajaran. Sembari berfikir ia teringat pada Daniel H Pink (2005) melalui bukunya A Whole New Mind menyatakan bahwa pada era abad ke-21, telah bergerak dari era informasi ke era konseptual. Artinya, di abad ke-21 seseorang akan berhasil hidupnya, jika dia menguasai konsep atau ide daripada hanya menguasai informasi. Ia belajar bahwa untuk menjadi seorang dokter tidak hanya dibutuhkan kepandaian dalam ilmu kedokteran tetapi, juga harus pandai bertindak dalam segala keterbatasan. Jika saja waktu itu ia tidak harus menunggu agar mendapat dukungan, mungkin Naura masih memiliki ibu. Jika saja saat itu ia tahu harus melakukan apa, pasti Pak Wardi tidak akan sendiri. Jika saja ia lebih berani dan bertindak sedikit nekat dengan membawa Ibu Mirna ke rumah sakit, mungkin ia masih mendengar seruan hangatnya. Tapi, apapun itu David bertekat bahwa ia tidak akan membiarkan hal ini terulang kembali. Tidak sekalipun, karena pada dasarnya semua itu terjadi tidak secara kebetulan. Karena Tuhan itu tidak bermain dadu yang hasilnya vuoto, serba mungkin.

 
 Sumber: Di sini

Catatan Penulis:
Cerita ini telah dipublikasikan dalam Majalah Kedokteran Nasional "SPEKTRUM" Edisi November 2015
Diterbitkan oleh BPN - ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia)
Untuk versi online majalah dapat anda klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar