“Negeri
ini makin lucu. Merdeka, tapi tak pantas. Macam anak yang lupa jasa orang
tuanya. Sungguh sebuah ironi…. Tak lebih baik dari
kucing dan tikus -tikus got”.
Bhineka Tunggal Ika, kalimat suci yang telah ternodai, setidaknya hingga detik ini oleh kaum-kaum abad duapuluh satu. Kalimat itu, kalimat yang selalu direlasikan dengan suasana harmoni dan sikap toleransi mulai terdengar tabu dan janggal di kuping manusia modern Indonesia. Frasa itu dicetuskan oleh seorang berdarah Jawa yang mengajarkan toleransi akan keanekaragaman, kepercayaan, dan keagamaan untuk mencapai satu tujuan nyata, concord (Inggris), yang berarti kerukunan.
Frasa itu, premis yang dapat
mengubah persepsi seseorang terhadap sesuatu, tak langsung melejit saat “detik kedua”
pencetusannya. Bhineka Tunggal Ika telah dilontarkan sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran
Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya.
Hingga suatu ketika terpecah
belah itu, umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Mpu
Tantular, darah Jawa yang mencetuskan kalimat itu, merujuk pada pupuh 139, bait 5, dalam
kakawin Jawa Kunonya yang diberi
judul Kakawin Sutasoma menyatakan dengan tegas, menggunakan bahasa
sankserkerta, “Bhineka Tunggal Ika merupakan pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman,
kepercayaan, dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan
Majapahit”, yang kemudian dijadikan semboyan agung bangsa “Zambrut Khatulistiwa” karena memberikan nilai-nilai inspiratif
terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, dan telah sepenuhnya mampu
menumbuhkan rasa dan semangat persatuan.
Syahdan, tampaknya Mpu Tantular harus membuang muka melihat realita tujuh abad setelah ide gagasan miliknya keluar, dan diusung para founding father. Kerukunan yang terwujud, kerukunan yang kental, dinamis, kini mulai luntur ditelan ego masing-masing. Terdesak, terbuang, termakan oleh bualan jiwa yang kosong akibat keburukan—evanescence, “Saya adalah yang terhebat, kalian minoritas? Menyingkirlah!”, begitulah kiranya.
Seorang penulis sosiolog sumbang, yang pada umumnya lebih dikenal sebagai tokoh ekonomi, berpendapat bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Kelas borjuis, kaum masyarakat penguasa, dan kelas proletar, kaum yang tertindas. Itulah penggolongan yang dilakukan oleh Karl Marx yang secara langsung maupun tidak melahirkan golongan mayoritas, yang dinomor satukan, dan golongan minoritas, yang dianak tirikan—atau terbuang.
Merujuk pada fakta bahwa Indonesia adalah negeri dengan sejuta keragaman, tentunya tak bisa lepas oleh adanya— baik dengan sengaja maupun tidak— kaum mayoritas dan kaum minoritas yang terlahir. Pada dasarnya, keragaman bisa menjadi kelebihan dan tak jarang kekurangan yang memicu lahirnya pelbagai masalah pelik. Menjadi percikan api pemicu terbakarnya konflik yang tak lain karena adanya korelasi tak sehat, terutama yang belakangan terjadi, akibat perbedaan agama dan kepercayaan yang dianut oleh tiap-tiap umat. Diferensiasi ritus.
Sepanjang dekade terakhir lebih dari puluhan konflik akibat perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras, dan antar golongan) bergejolak. Mulai dari kasus yang terjadi di Aceh, Sambas, Poso, Ambon, dan Papua, kasus penyerangan terhadap rumah ibadah jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Tasikmalaya— yang kata Irman Gusman adalah fenomena inskonstitusitonal, peristiwa-peristiwa pembakaran gereja, peristiwa kecelakaan yang terjadi di Sumbawa dan berujung pada isu SARA yang berbuntut kerusuhan, penyerangan umat Syiah di Sampang Madura, aksi anarkis warga dengan FPI di Paciran, Lamongan, Jawa Timur bulan lalu, yang terbaru bentrok antarwarga desa di Bima, NTB. Begitu banyak kasus sejenis, SBY, yang dianugerahi penghargaan tertinggi atas upaya penciptaan perdamaian, tampak kelabakan, menjadi aktor “persalahan” karena dianggap tak pantas atas itu, hingga memutuskan pembahasan tersebut dalam pertemuan kunjungan kerja dengan sekjen PBB, Ban Ki-Moon di Istana Bogor bulan Maret lalu. Dan hasilnya tak begitu aplikatif.
Isu SARA bisa menjadi ancaman untuk kekokohan NKRI. Dan kuat hipotesa adanya pihak ketiga yang menjadi dalang, memonopoli orang-orang dungu yang haus kenikmatan sesaat. Semacam politik konspirasi, saya menyebutnya. Ibarat pepatah, “Makan tali pusat sendiri hanya demi seperak koin”
Melihat realita, frasa “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua” seyogyanya sudah tak digunakan. “Berbeda-beda tetapi tak punya harga” tampak lebih relevan. Tapi siapa sangka? Sadarlah! berkecamuknya berbagai pertentangan pelik itu, semua kompetisi kekuasaan untuk menanamkan berbagai bentuk – terutama antara yang mau menguasai dan yang menampik dikuasai. Dan di ruang hampa yang bisa diisi pelbagai ‘unsur’ itu, tidak ada satu kelompok pun yang pasti akan menang — atau bisa mengklaim hak untuk menang. Semua akan mendapat hal yang sama. Perpecahan dan kelenyapan NKRI, dan Mpu Tantular pun tercoreng wajahnya. Bualannya hanya dianggap sampah.Orang pun terkecoh, tak melihat bahwa sesungguhnya ia dipermainkan. Indonesia adalah negeri kaya dengan banyak warna. Sekali orang-orangnya berhirarki, maka Paman Sam pun akan tertatih. Syahdan, dengan keadaan tersebut, diperlukan sebuah semangat penggelorah jiwa-jiwa pemersatu bangsa untuk menghapus corengan wajah seorang Mpu Tantular. Goenawan Mohamad dalam tulisannya mengatakan bahwa tak ada revolusi tanpa teori revolusi, buruh yang hanya mengadakan aksi tanpa keadaran kelas akan mudah jatuh ke dalam ‘ekonomisme’. Begitu pula semangat persatuan. Harus ada perencanaan. Harus ada “the real action”, tak hanya berkoar belaka.
****
Saya bukan seorang dengan hati suci. Bukan pula orang berhati penuh kemunafikan. Pengalaman saya sepanjang sebelas tahun duduk berhadapan dengan papan yang bisu tak sampai sejengkal jari. Sambil menulis ini saya ingat kata-kata seorang mantan veteran yang berkepala tujuh, kakek saya: “Negeri ini makin lucu. Merdeka, tapi tak pantas. Macam anak yang lupa jasa orang tuanya. Sungguh sebuah ironi. Kau tau, nak? Dulu semangat bersatu ibarat guntur yang menggelegar. Walondo saja heran. Kita beda, tapi guyup. Tapi sekarang? Tak lebih baik dari kucing dan tikus-tikus got”.
Bicara kemerdekaan, sekitar dua minggu lalu kita berhisteria. Sebuah tamparan hebat untuk kita — penghuni negara yang katanya sudah merdeka, para pembesar ‘sana’ yang sibuk dengan pelbagai spekulasi, paria politik, dan tentunya para notorious yang tersenyum di balik layar. Negeri ini, negeri yang mengagungkan kebebasan rakyat homogennya—kebebasan mayoritas dan minoritas, ironisnya nihil dalam pengaplikasian. Indonesia tidak merdeka, setidaknya belum pantas disebut merdeka. “Menjadi merdeka bukanlah semata-mata dengan bebas mengibarkan bendera tanpa belenggu orang lain”. Menjadi merdeka berarti “hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain, kemerdekaan sesama yang hidup, kebebasan tanpa pandang bulu”.
Masih segar dalam ingatan, kasus Ahmadiyah di Tasikmalaya, golongan minoritas yang rumah ibadahnya diserang. Siapa yang patut disalahkan? jajaran pemerintahan daerah? Saya tak akan memulai permainan kampung dengan topik pantas “menyalahkan” dan pantas “disalahkan” dalam tulisan ini. Menyebutkan nama orang-orang sana yang berkedok, atau pun menjelaskan bagaimana— yang mayoritas argumen menguatkan adanya keterlibatan dalang dalam kejadian itu. Tapi yang terpenting adalah, mengapa? Satu jawabannya, setidaknya yang dapat mewakili dari ribuan spekulasi yang ada di batok kepala orang-orang itu, rasa bahwa dia yang terhebat. Ataupun, yang menjadi lucu adalah ketika kobaran konflik ditopengi oleh sebuah kata sarat makna, tapi terdengar murah, “jihad”. Hari-hari ini terbukti bahwa tak ada korelasi yang konsisten antara pengetahuan agama seseorang, yang disini dalam arti “sok membela kebenaran” dengan akhlaknya.
Manusia modern Indonesia hendaknya sadar akan sebuah rasa saling memiliki. Rasa memiliki akan melahirkan nasionalisme, dan tentunya mengukuhkan sikap patriotisme. Arus Globalisasi memang deras, tapi seyogyanya tak menghanyutkan persatuan, menyeret masyarakat kita ke dalam lubang hitam mesin hasrat, mesin yang sarat dengan pencitraan diri manusia, dan terjebak dalam kapitalisme global. Lalu, bagaimana dengan persatuan kita sekarang? Sebab, diakui atau tidak, globalisasi mengaburkan identitas nasional kita dan ikut menyumbang kekeroposan sifat-sifat nasionalisme, terutama pada diri anak-anak muda. Harmonisasi masyarakat pun terhapus. Nilai masyarakat perlahan mulai terdegradasi. Namun, Pepatah mengatakan perbedaan itu indah. Tanpa perbedaan kita akan merasa hambar, dan juga bosan tanpa dinamika. Dinamika rotasi kehidupan.
Potensi keberagaman jika terjalin dengan baik akan menjadi keunggulan, kekuatan besar, sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai. Seperti yang saya katakan sebelum ini, Paman Sam pun akan tertatih. Sedikit menyinggung salah satu hukum fisika klasik, “Jika massa dilipatgandakan, gayanya akan berlipat dua. Jika jarak dilipatgandakan, maka gaya akan berkurang seperempat kali semula”. Massa analogi hubungan timbal balik, dan gaya adalah rasa persatuan yang timbul. Jika kita membuat jarak diantara perbedaan, maka rasa persatuan akan berkurang, dan pada akhirnya lenyap.
Ada sebuah cerita menarik dari kampung seberang, sekitar satu kilometer dari domisili saya, sebut saja kampung Pancasila. Tentu itu bukan nama yang sebenarnya. Julukan itu muncul seiring dengan suasana harmoni dan sikap toleransi beragama yang ditebarkan warga kampung itu, warga Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Di Desa Balun, ada tiga pemeluk agama yang berkembang, Islam sebagai mayoritas, Kristen, dan Hindu. Samua umat beragama saling menghormati, tak hanya yang hidup, tapi juga yang mati. Tempat ibadah mereka berada dalam satu komplek yang berdekatan, begitu pula tempat pemakaman warga yang berbaur tak mengenal strata. Satu yang membuat saya tertarik, adalah ketika Ramadhan beberapa waktu lalu, umat Islam yang tadarus membaca Al Quran di Masjid dengan pengeras suara hanya dibatasi sampai pukul 22.00 agar tidak mengganggu umat lain. Umat Hindu tanpa diminta mengubah sendiri jadwal sembahyangnya. Kalau biasanya dilakukan sekitar pukul 19.00, selama bulan puasa jadwalnya diubah sebelum maghrib, dan ketika hari nan fitri tiba, semua rumah akan terbuka pintunya, dengan meja yang dipenuhi jajanan. Tak melihat mereka Kristian atau Hindu. Sikap “Mengubah jadwal” ini juga berlaku saat hari raya Nyepi dan Natal. Sungguh sebuah kampung percontohan. Perbedaan ritus tak dihiraukan. Tak ada kasus pembakaran gereja ataupun konflik umat beragama. Sedikit melegakan mendengar Bhineka Tunggal Ika bukan cuma sebuah bunyi suram. Seperti yang ditulis Andrea Hirata dalam novel legendarisnya bahwa pasti ada pelajaran moral dalam setiap hal, dan kali ini saya mengambil pelajaran moral yang pertama: perbedaan jangan dijadikan alasan saling membenci, tapi kekuatan untuk saling melengkapi. Karena setiap pemeluk agama seharusnya mengembalikan kepada ajaran agama masing-masing, yang sama-sama melarang perbuatan dosa dan tercela.
Yang membuat menarik adalah dengan harmonisasi itu, Desa Balun menjadi desa yang terkenal seprovinsi Jawa Timur. Masyarakat berbondong-bondong mengunjungi desa itu, terutama saat hari Jumat Kliwon. Warga berjejer membuka usaha dagang dan jalanan sarat akan kendaraan. Satu nilai tambah, perbedaan dapat mendatangkan nilai finansial. Baik untuk undividu-individu yang tinggal, maupun lancarnya pembangunan wilayah domisili.
****
Fakta
keras sejarah Indonesia, negeri yang kita warisi dari Pemerintah Hindia Timur
Belanda, sebuah bangsa dan negara yang secara kultural, agama, suku, dan
golongan, yang benar-benar bercorak pluralistik
dengan segala kekuatan dan kelemahannya masing-masing.Pluralistik adalah keadaan masyarakat yang majemuk – bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya. Kebhinekaan Indonesia itu realita yang ada di depan mata—yang pada faktanya sudah sangat jarang ditemukan. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda dengan orang Batak, Papua, Aceh, Sunda, dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal dari kota-kota besar dan metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan, dan kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita tentang Indonesia berbeda. Namun ketika rakyat melihat praktek kekuasaan yang egois bagi kepentingan elite, muncul kritik dan pemberontakan budaya. Ini yang harus dihindari. Seperti yang dikatakan oleh RI satu beberapa waktu lalu dalam pidato kenegaraannya, “Kita harus menghindarkan diri dari kekerasan horizontal, baik yang dipicu oleh sengketa lahan, ekses pilkada, maupun perbedaan pandangan dan keyakinan. Kita harus menghindarkan diri dari sikap mau menang sendiri dan memaksakan kehendak. Negeri kita justru harus menjadi etalase dari harmoni dan toleransi, bukan konflik dan kekerasan horizontal".
Seringkali konflik di suatu daerah terjadi lantaran disulut gerakan yang muncul dari orang yang berada di daerah lain. Orang Jawa menyebutnya “Wong sing senengane golek pengalembono”, Bahasa Indonesianya, “Orang yang senang cari sensasi”. Bicara tentang “orang yang cari sensasi” — dalam artian untuk ‘menyulut’ dan tanggapan dari ‘sulutan’ tentu tak jauh dari peace building yang dibangun seseorang. Peace building yang dikembangkan, menurut Piet George Manoppo seorang Dosen Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mesti mencerminkan korelasi antara tiga elemen dasar paradigma yaitu, pendidikan budaya damai, berbasis keadilan sosial, dan integrasi sosial. Jadi, setiap individu seyogyangya memiliki karakter peace building yang disebutkan diatas. Dengan memandang derajat kesamaan tiap-tiap umat, dan pikiran positif, serta keteguhan hati dalam menanggapi isu-isu yang berkejaran liar diluar sana. Satu key term, menerima dan menghargai kebhinekaan. Tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai kebhinekaan maka sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Gerakan bermuatan fitnah, intimidasi, berita bohong, adu domba, isu-isu, Terutama isu agama yang sensitif dan mudah terbakar, bagi pihak-pihak yang menghendaki instabilitas keamanan dan sosial, maka isu keagamaan dipandang efektif untuk terus dijadikan isu negatif yang tak jarang muncul melalui SMS, jejaring sosial burung biru—Twitter, maupun situs buatan seorang mahasiswa Harvard, Mark Zuckerberg, Facebook, yang ramai dalam gejolak ombak. Inilah yang harus diwaspadai masyarakat— terutama kaum pemuda-pemudi yang mentalnya masih “bau kencur”, dengan mudah terprovokasi tak punya pegangan diri. Hilangkan sikap saling curiga demi mencega terjadinya konflik. Kekuatan SMS, Twitter, Facebook adalah kekuatan yang “besar”, kekuatan yang harus kita waspadai. Jadikan media-media elektronik sebagai wadah untuk membangun relasi antarsesama. Membuat suatu forum yang anggotanya terdiri dari banyak unsur tentunya mengundang nilai tambah. Mayoritas orang mencari hal yang unik, atau setidaknya lain dari kebanyakan. Jadikan perbedaan menjadi hal yang unik.
. ****
Kebersamaan—yang
bukan dalam sebuah arti senasib sepenanggungan—yang sekedar konsensus politik nasional, akan mudah pudar
bersama perubahan sosial yang semakin cepat di era modern ini. Bentuk
dan sistem akan datang dari luar — tetapi datang seperti dadu monopoli yang
dilontarkan ke ruang kosong. Unpredictable,
Serba mungkin.Wawasan nasionalisme, persatuan akan perbedaan, akan tetap segar jika ia juga merupakan daya spritual dan kesadaran hidup di dalam diri orang atau warga bangsanya, seperti yang terlontar dari mulut Profesor Abdul Munir Mulkhan. Nasionalisme, persatuan, yang berhenti sebagai doktrin ideologis kenegaraan, tak lain sebab karena kurang berakar dalam kesadaran hidup warganya.
Masih segar dalam ingatan saya, kejadian lima tahun silam. Dikala itu, sahabat saya yang datang dari etnis Tionghoa—yang minoritas di sekolah — merasa minder ketika berjalan di depan teman-teman Jawanya, termasuk saya, diwaktu pertemuan pertama masa orientasi. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa itu muncul. Rasa untuk saling berbagi dalam segala situasi. Saya menyebutnya kesetiakawanan. Kesetiakawanan itulah yang mesti kita tegakkan. Kesetiakawanan dapat diwujudkan dengan maju membantu sesama. Berkawan dengan orang yang “berbeda” dengan diri sendiri bukanlah hal yang buruk. Bahkan, pendapat itu dapat dihilang karena secara faktual bekawan dengan orang yang “berbeda” mendatangkan banyak keuntungan. Dengan bertukar pikiran kita dapat memperluas wawasan diri. Tak selalu statis jika berkawan dengan orang yang “sama”. Kesetiakawanan adalah salah satu wujud dimana perbedaan tak dianggap batas. Kesetiakawanan adalah usaha untuk saling berbagi dan membantu. Yang sudah maju membantu yang belum maju. Yang kuat melindungi yang lemah. Yang mayoritas membantu minoritas. Kalau itu dapat dijalankan secara bersama, maka itulah tujuan yang hendak kita tegakkan. Menghapus corengan di wajah seorang Mpu Tantular. Setidaknya sedikit, untuk menghidupkan kembali Bhineka Tunggal Ika yang perlahan mulai terdegradasi. Sebuah pelajaran berharga: kesetiakawanan adalah awal kecil untuk wujud nyata persatuan.
****
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua. Premis sakral yang harus tetap kokoh berdiri walau ancaman silih datang berganti. Persatuan adalah suara jiwa-jiwa kekal yang menginginkan kebersamaan untuk hidup dalam satu kesamaan. Tidak ada otoritas yang dapat membuatnya dengan manipulatif, ataupun menghancurkannya dengan pelbagai inisiatif. Tali persatuan selalu terbuka, menjerat siapa saja yang ingin mengikatkan diri. Perbedaan sebenarnya menandatangkan segudang manfaat. Masyarakat hendaknya mulai membuka mata akan pentingnya harmonisasi. Segelintir orang yang menganggap finansial adalah segalanya, hendaknya mulai sadar akan sebuah peluang. Orang-orang yang ingin mencoba hal baru harus mau membuka diri untuk menerima hal yang berbeda, menganggap kaum minoritas sebagai bagian dari kelompoknya. Frasa itu pasti dibuat Mpu Tantular bukan untuk dunia yang hanya mau tersenyum bila si jahat bangun dari lumpur dosa. Bhineka Tunggal Ika tidak begitu — atau setidaknya mulai begitu, untuk saat ini. Mpu Tantular yang merasa malu pada diri sendiri setidaknya bisa sedikit lega frasa buatannya mulai terjunjung lagi. Terlindung dari tempat yang tercemar. Menghapus corengan di wajah seorang Mpu Tantular tidak segampang rumus hitungan alogaritma. Beberapa langkah tersebut mampu melunturkan corengan itu, setidaknya sedikit, untuk menghidupkan kembali Bhineka Tunggal Ika yang mulai tersisih. Menghidupkan kembali nilai-nilai yang terdegradasi.
Ditulis Oleh:Arlinda Silva PrameswariKetika Harmonisasi Menjadi Boomerang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar