- Manusia memang benar-benar tolol.
Hasil penciptaan Vertebrata yang mencoba jadi Mollusca. Ber-ekstremitas empat
yang tidak melata, tapi bertingkah seolah buaya. Makhluk omnivora yang tak
jarang menjadi karnivora pemakan sesama -
Waktu senggang adalah waktu yang tepat untuk sebagian orang introvert maupun setengah extrovert untuk sedikit merenungi hidup dan jadi diri masing-masing. Satu dari
sekian probabilitas yang acap kali melanda ketika seseorang tenggelam dalam
renungan tak lain adalah, mengapa, bagaimana, dan apa. Terlepas dari pelbagai
spekulasi yang terlintas dalam benak manusia, penulis sendiri akhir-akhir ini
mencoba untuk sedikit menyelami hal-hal “tak penting” – yang tetap saja
menurutnya penting – untuk dijadikan sebuah tulisan yang tidak layak publish.
Ah, sepertinya orang ini sudah mulai habis kesibukannya setelah selusin anime dan satu paket novel telah ia telan,
kecuali satu perencanaan yang masih belum saja ia laksanakan. Bocah itu memang
sedikit payah dan mudah dialihkan, terkadang.
Bicara
tentang alih-dan-mengalihkan, dan tetap saja masih berhubungan dengan bocah di
atas – yang akan sedikit demi sedikit saya ajak Anda untuk beranjak dari dia,
setidaknya – tayangan televisi akhir-akhir ini juga ikut-ikutan beralih! Amboi,
besar pula pengaruh penulis ini! Nampak beberapa modifikasi dan tampilan asing
para pemeran layar kaca yang menurut penulis sangat mencanggungkan. Sudah
sekian lama, semenjak terakhir kali libur semester, ia menancapkan bokong
beberapa meter depan layar tivi dengan satu kantong kripik singkong hingga
lewat tengah malam. Sempat pula penulis berpikir melewati pusaran waktu menuju
jaman tak terduga menggunakan mesin waktu Doraemon, atau pun menggunakan
teknologi dengan prinsip relativitas Einstein dan sedikit bermain dengan kucing
Scrondinger. Dan detik itu pula ia sadar, dan terjawab pula semua spekulasinya.
Ini adalah Ramadhan.
Ramadhan
sangat erat hubungannya dengan kurma, takjil, makan kenyang waktu berbuka,
perasaan ngantuk dan kaki mendadak kram saat shalat tarawih – tentu saja saat
sang imam membaca surah Al-Baqarah pada salah satu rakaat (sebenarnya ini true story) – sampai iklan sirup marjan yang konsepnya sama dari taun ke
taun, cerita bersambung, dan juga artis mendadak alim! Alim! Sekali lagi, alim!
Orang-orang
hedonis sana mendadak tobat – tepatnya pura-pura untuk menjadi orang tobat –
agar masih bisa dapet job, eksis, dan
dikira orang agamis pada waktu
Ramadhan – padahal aslinya benar-benar memprihatinkan. Sok-sok pakai hijab,
berkerudung, tapi rambut poni masih jelalatan kemana-mana. Menutup aurat pakai
baju panjang, berjubah, tapi press body.
Bahkan terkadang menimbulkan kesan untuk memperbesar bagian depan dan
belakangnya, if you know what I mean.
Moral kita, atau memang manusiannya, memang benar-benar sudah bobrok.
Sebut
saja salah satu artis – bahkan saya sangsi untuk menyebutnya artis – yang
terkenalnya saja lewat ajang pencarian jodoh jaman saya SD dan kerjannya cuma
cari sensasi, Nikita Mirzani. Bahkan orang seperti dia yang terkenal dengan pakaian
seksinya saja menggunakan baju “sopan”, walaupun tidak sepenuhnya tertutup. Dan
baru-baru ini saya mengetahui bahwa ia kembali membuat satu skandal. Contoh
lain Jupe. Siapa pula yang tak kenal Jupe? Insiden goyang karawang dengan Dewi
Persik, ditinggal pacar pulang ke negarannya, sampai artis ratu bohai. Tampar
saya jika Anda tidak tahu. Ia pun berhijab! Setelah semua serapah konyol yang
dengan “polosnya” ia lontarkan ke publik – termasuk janji lari telanjang
keliling gelora bung karno tempo lalu – seolah menguap begitu saja. Hal serupa
juga terjadi dengan Vicky Prasetyo. Saya sendiri pusing bukan kepayang melihat
mukanya masih saja nongol di layar kaca. Bukankah masih banyak manusia berbakat
di negara ini? Setelah semua skandal nikah palsunya dan gaya sok inteleknya
yang memalukan itu – yang dikirannya sangat keren – masih saja ada sustradara
yang mempekerjakannya. Saya jadi ragu, apakah ini artisnya, sustradara, produser,
atau pemilik stasiun televisinya yang harus dieliminasi. Hendaknya ini menjadi
tamparan kasar untuk KPAI yang kinerjanya katannya “sedikit” tidak becus. Beberapa
adegan kartun yang menurut saya tidak pofokatif disensor, namun banyak tayangan
misal sinetron yang jelas-jelas merusak otak orang-orang yang melihatnya justru
malah diekspos. Mungkin setelah ini saya harus menandatangani salah satu
petisi.
Bicara
tentang pola tingkah manusia memang tidak ada habisnya. Seperti yang dikatakan
oleh putri Hime pada salah satu episode Kekaishi,
manusia memang bakka (dalam Bahasa
Jepang artinya bodoh). Manusia lemah tapi masih saja berlagak kuat. Bahkan
tidak peduli cara itu baik, buruk, sukar, susah, tetap saja dilakukan. Acap
kali beberapa aturan dibuat untuk menjadikan manusia itu makhluk yang kuat,
dinamis, terstruktur. Namun, dilain pihak justru mereka sendiri yang
melanggarnya dan dengan tololnya mengatakan “peraturan dibuat untuk dilanggar”.
Bukan, penulis bukanlah orang tanpa dosa yang selalu patuh pada aturan. Tapi
jika ingin melanggar aturan, pilihlah dengan bijak! Jangan jadi katak yang
ingin lompat keluar tapi malah diterkam ular. Adakalanya pelanggaran aturan –
saya lebih suka menyebutnya reformasi
aturan – itu memang perlu untuk dilakukan. Jangan lakukan aturan yang jelas-jelas
tidak ada mudaratnya. Salah satu contoh yang mungkin sering kita temui,
diwajibkannya untuk ikut kegiatan, sanksinya tidak lulus TA. Atau mungkin
diwajibkan membayar untuk hal-hal yang sangat tidak ada hubungannya dengan
akademik, sanksinya nilai ujian blok/semester tidak keluar. Ada juga yang
mengatakan harus setidaknya mengikuti beberapa kegiatan, sanksinya tidak boleh
ikut KKN. Menyebalkan, kadangkala ingin sekali memaki dunia, bukankah begitu?
Manusia
memang benar-benar tolol. Hasil penciptaan Vertebrata yang mencoba jadi
Mollusca. Ber-ekstremitas empat yang tidak melata, tapi bertingkah seolah
buaya. Makhluk omnivora yang tak jarang menjadi karnivora pemakan sesama. Manusia
menciptakan begitu banyak aturan yang tidak boleh untuk dilanggar. Manusia
membuat banyak sekali hal-hal yang sebenarnya penting namun sulit untuk
dijelaskan. Dan hal itulah yang menguatkan bahwa manusia itu benar-benar
penciptaan yang rumit. Adalah sebuah kesalahan besar Teori Darwin pernah
terlahir dan dosa besar bagi para Darwinisme yang mempercayai hal itu. Sesuatu
hal yang mustahil jika manusia adalah evolusi makhluk kecil bersel satu di
lautan (Baca versi asli The Origin of
Species).
Orang-orang
tua ketika saya kecil mengatakan bahwa jikalau kalian shalat hendaknya ngadep ngulon (dalam Bahasa Jawa artinya arah
Barat). Manakah arah kulon itu?
Mereka berkata bahwa arah kulon
adalah arah dimana matahari pergi dari singgasanannya, terbenam. Syahdan,
penulis kecil kala itu pun menancapkan sebuah doktrin bahwa semua orang yang
shalat hendaknya menghadap Barat. Tapi, disana lah masalah mulai timbul. Apakah
harus menunggu munculnya matahari hanya untuk menentukan waktu shalat?
Bagaimanakah dengan malam hari? Bagaimana menuntukan arah Barat itu?
Waktu
itu ketika sedang tidak berada di tanah Jawa, salah seorang teman dengan
pintarya – lebih tepat dibilang dengan sok pintarnya – mengatakan bahwa itu
arah utara, timur, barat, dan selatan, seraya menunjuk ke empat penjuru mata
angin tersebut. Dalam benak saya pun berspekulasi bagaimana pula dia dan
orang-orang sejenisnya mengetahui arah mata angin tersebut. Hal serupa pun
terjadi sewaktu saya, budhe, dan anggota keluarga lainnya pergi ke tempat nan
jauh. Namun edisi kali ini, arah mata angin yang mereka tunjuk berbeda. Sang
budhe menunjuk arah utara ke kanan, sementara si tante menunjuk ke kiri.
Penulis yang polos pun menjadi semakin bingung. Semenjak saat itu penulis
cenderung masa bodoh dengan penjuru mata angin. Setidaknya menunjukkan lokasi
suatu tempat lebih nyaman menggunakan istilah belok kanan-kiri ketimbang belok
ke timur-barat. Alasan lain karena penulis tidak tahu-menahu bagaimana
menentukan arah penjuru mata angin.
Setidaknya
waktu telah berlalu panjang dan permasalahan mata angin masih menghantui
penulis. Ketika waktu itu sedang sibuknya membaca buku geografi milik kakak
saya – penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sebuah jawaban secara tidak
sengaja telah ditemukan. Arah Angin! Kau bisa menggunakan arah datangnya angin
untuk menentukan penjuru mata angin! Dijelaskan pula dengan gamblang bahwa
negara kita adalah negara tropis yang memiliki dua musim, setidaknya ini
sedikit mempermudah seorang amatiran untuk belajar agar tidak tersesat di alam.
Ketika musim penghujan tiba, itu terjadi sekitar bulan Oktober-April angin
berhembus keras melewati samudra luas membawa titik-titik air yang akan
mambasahi tanah hindia. Angin itu berhembus dari arah barat (benua Asia) melewati
lautan Hindia menuju ke arah timur selatan (benua Australia). Demikian pula
sebaliknya, jikalau musim kemarau tiba angin akan berhembus keras dari arah
timur menuju barat dengan membawa hawa kering. Lantas bagaimana caranya? Kau
bisa menggunakan sehelai kain atau rambutmu untuk menentukan arah angin datang.
Cukup biarkan kedua benda itu berkibar dan lihat kemana ia menari, maka itulah
arah yang kau cari. Namun, setelah beberapa kali mencoba cara ini memang
sedikit merepotkan. Beberapa masalah kerap timbul, kencangnya angin dan debu
hingga membuatmu reflek menutup mata, kaburnya kain karena tertiup angin, belum
lagi permasalahan rambut yang akan sulit kau sisir jika angin terlalu kencang.
Pada akhirnya cara menentukan arah penjuru mata angin dengan arah angin pun
resmi dicoret dalam daftar. Pernakah kau kuberitahu satu hal, jangan beri
perhatian pada hal-hal yang tidak penting dan merepotkan. Hal ini, menentukan
penjuru mata angin dengan dengan arah datangnya angin, termasuk merepotkan.
Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan meningkatnya kecerdasan otak manusia,
keingintahuan akan penjuru mata angin mengantarkan penulis pada ilmu
perbintangan – tentunya ada pula alasan lain yang lebih kuat – Astronomi. Kala
itu dimana hasrat keingintahuan sedang berada pada puncak tertingginya, sekian
banyak buku telah dilahap. Walaupun beberapa buku berbahasa Inggris yang kadang
tak tahu apa yang dimaksud pun terpaksa ia baca, mengingat betapa langkahnya
buku Astronomi di tanah kita. Sampailah pula ia pada bab bintang, bab yang
mengantarkannya pada sebuah jawaban dan kenyataan baru. Ada ribuan hingga
jutaan bintang di galaksi kita. Tatasurya kita, dengan matahari sebagai pusatnya,
hanya bagian kecil dari galaksi Milky Ways. Tata surya kita hanya berada pada
piringan bima sakti, bukan di tengah. Sekali lagi saya ulangi piringan!
Pinggir! Bukan tengah! You are not the
center of the universe!
Dalam
galaksi kita ada banyak bintang yang letaknya statis, dikatakan statis karena
letaknya yang jauh sehingga terlihat tetap jika dilihat di bumi. Mereka bersama
dengan matahari kita mengelilingi galaksi dengan tata urutan tertentu yang jika
dilihat dari Bumi membentuk beberapa garis khayal, rasi bintang. Dan garis
khayal itu yang membantu kita untuk menentukan arah penjuru mata angin. Salah satu contoh adalah rasi bintang Crux
atau rasi bintang salib, sebagai salah satu symbol dalam mitologi yunani, yang
terdiri dari empat gugus bintang yaitu, g acru (g cru), σ cru, Acrux (α1 cru), dan bintang mimosa (β cru), yang
menujuk arah selatan. Bintang pollaris, bintang paling terang di utara yang
selalu berada di sana sebagai petunjuk para pelaut termasuk Columbus tatkala
terdampar dan menemukan benuah Amerika, dan juga segitiga musim panas, yang
tentunya hanya dijumpai saat musim panas, yang menunjuk arah barat. Kerap pula
dijumpai sewaktu fajar. Di ufuk timur, dua bintang yang sangat terang membentuk
dua titik di langit. Tidak, bukan bintang. Itu adalah planet Jupiter dan Venus.
Beberapa saat sebelum matahari terbit, kedua planet tersebut dapat dilihat
dengan mata telanjang, berdekatan membentuk segitiga dengan bulan. Demikianlah
ujung pencarian jawaban penulis, dan tampaknya ia sedikit puas dengan kenyataan
yang ia dapatkan. Setidaknya menggunakan patokan Bintang untuk menentukan
penjuru mata angin berhasil ia tulis dalam daftar 1001 Hal Penting yang Tidak
Merepotkan miliknya. Namun, Anda mungkin saja akan kebingungan tatkala langsung
terjun ke lapangan untuk mecari bintang-bintang yang telah disebutkan di atas.
Anda tidak disalahkan, mengingat belum tahunya “tempat” bintang itu bersarang.
Anda mungkin akan kebingungan dan hanya melihat ribuan titik dilangit tanpa
memahami satu makna pun, ibarat kapal yang berlayar tapi tak tahu pelabuhannya.
Sedikit melihat peta bintang mungkin akan membantu, atau Anda dapat langsung
mendownload aplikasi Stellarium untuk praktisnya, juga sedikit imajinasi karena
gambar-gambar mitologi yunani tidak segampang yang dipikirkan.
Seorang
astronom sekaligus matematikawan kuno, Galileo Galleli, mengungkapkan bahwa
Bumi itu bulat dengan matahari sebagai pusat sumbunya. Tapi, pendapatnya itu
ditentang dan ia dihukum gantung oleh pihak gereja karena dianggap mensalahkan
dan menodai kemurnian ajaran Kristen kuno. Beberapa abad kemudian telah terkuak
kenyataan yang telah diyakini publik hingga kini bahwa Bumi itu bundar,
setidaknya Galileo mati tidak sia-sia. Dan disinilah masalah baru muncul. Telah disebutkan bahwa sejauh kisah ini paham
penulis adalah “seorang muslim yang shalat hendaknya menghadap Barat”, lantas
muncul satu pertannyaan dalam benak penulis kecil. Dimanakah arah Barat berawal?
Dan kalimat awal paragraf ini berhasil menjawabnya. Tidak ada awalan untuk arah
barat, begitu pula dengan timur, utara, dan selatan. Karena bumi itu bulat,
tidak memiliki awalan dan akhiran. Dan ketika itu penulis mulai memperdalam
Kartografi, ilmu peta.
Entah
mengapa semenjak kecil penulis selalu tertarik dengan Globe. Suatu saat ingin memiliki satu globe kecil di kamarnya, namun hingga sekarang tak kunjung ada.
Masih segar dalam ingatan bahwa kartografi mulai diajarkan ketika kelas empat
sekolah dasar, waktu itu masih satu rumpun dengan ilmu sosial. Keingintahuan
itu membuat ia berhasil menghafal lebih dari 93 letak geografis negara anggota
PBB. Ia mencoba menarik garis lurus dan
menghubungkan Pulau Jawa dengan Kota Mekka. Namun, itu bukanlah garis lurus
melainkan garis dengan sinus 30° arah horizontal. Jika ditarik lurus Pulau Jawa
ke arah Barat, maka akan tepat membidik Pulau Madagaskar di Timur Afrika. Dari
sana timbul kesadaran bahwa sebagian besar persepsi masyarakat yang beredar
adalah salah besar. Mereka mengatakan lurus ke Barat, bukan miring ±30° ke arah
Barat. Jika mereka melakukan itu, maka kiblat mereka bukanlah Ka’bah tapi Pulau
Madagaskar. Beberapa tahun kemudian film Sang Pencerah pun dirilis, dan penulis
pun sedikit mensayangkan film itu. Hendaknya dirilis sedikit lebih awal sajalah
film itu sehingga ia tak usah capek-capek mengentaskan rasa ingin tahunya. Dari
sanalah diketahui bahwa masyarakat kita masih saja kolot, padahal ilmu itu
telah diberikan oleh Bapak Ahmad Dahlan beberapa puluh tahun lalu.
Eksplorasi
globe pun tidak berhenti sampai di
situ, begitu banyak hal diperoleh dari replika bola dunia itu. Jika mereka
mengatakan “Seorang muslim yang shalat hendaknya menghadap Barat”, lantas
bagaimana dengan orang yang berada di Rusia, Australia, maupun Alaska?
Jawabannya Tidak! Mereka tidak menghadap ke Barat! Orang Rusia akan menghadap
ke selatan tentunya dengan penyesuaian beberapa derajat, begitu pula yang
lainnya. Itulah sebuah analogi. Tidak bisa dibayangkan pemikiran sederhana
seorang bocah bisa membuat beribu pertanyaan baru. Semua akan menghadap ke kota
mekka. Menghadap ke arah ka’bah, bukan ke penjuru mata angin.
Syahdan,
jikalau pergi jauh dengan mengendarai transportasi darat maupun laut, tentunya
sebuah masalah besar jika kita tidak mengetahui arah kiblat untuk shalat. Namun,
sebuah pemikiran baru pun muncul. Setelah ulasan bentuk bulat bumi yang telah
diyakini, kenyataan baru pun terkuak. Kemanapun arah kita menghadap, hendaknya
bukanlah sebuah problematic besar jika kita, umat islam Indonesia yang shalat
menghadap ke timur. Bukankah begitu? Hal ini setidaknya berlaku jika kita dalam
perjalanan. Karena pada prinsipnya bumi itu bulat, tidaklah mengapa jika kita
shalat dengan menghadap arah manapun. Namun, masih saja ada satu hal yang
mengganjal dan itu masih masuk dalam pemikiran terdalam penulis. Menghantuinya
hingga kini. Mengapa kita shalat tidak menghadap ke timur? Padahal jikalau
menghadap ke timur pun ujung-ujungnya kita juga akan menemukan ka’bah. Masalah
kiblat – masalah arah shalat – yang menggunakan penjuru mata angin ini
seharusnya bukanlah hal yang konkret untuk ditangguhkan. Majid-masjid pun tidak
seharusnya dibangun dengan tempat imam yang khusus menghadap ke barat. Setelah
mencari jawaban dan cemoohan yang cukup dari para senior yang berpemikiran
tertutup itu, akhirnya ia mendapat sebuah jawaban.
Jarak.
Sebuah jawaban singkat yang cukup memukul pemikiran konyolnya hingga kini.
Indonesia adalah negara timur. Jika Anda membagi bola dunia dengan dua bagian
yang sama besar mengikuti garis bujur, maka akan didapat dua potong bagian.
Barat dan timur. Kerajaan Saudi termasuk bagian negara timur namun letaknya di
tengah, itulah mengapa ia – atau negara-negara arab lainnya- disebut negara
timur tengah. Dan itu adalah satu dari sekian alasan mengapa kita shalat
menghadap ke Barat. Jika Anda menarik garis lurus dari arah Barat menuju Kota
Mekka dan arah Timur menuju Kota Mekka pula, maka akan didapat selisih yang
cukup besar. Tarikan garis ke timur akan melewati Benua Amerika, Afrika, serta
Lautan Atlantik untuk bisa sampai ke Kota Mekka. Sementara tarikan ke Barat
hanya akan melewati negara-negara kecil Asia. Itulah mengapa umat muslim di tanah air
menghadap Barat, tentunya dengan kemiringan beberapa derajat, ketika ia shalat.
Lantas,
apakah sebenarnya arah penjuru mata angin itu? Apakah Barat, Utara, Timur, dan
Selatan? Mereka bahkan tidak memiliki awalan dan akhiran. Bukankah bumi itu
bulat, lalu mengapa mereka muncul seolah bumi ini adalah bidang datar dengan
hamparan luas? Adakah makna tersendiri dari masing-masing mereka? Mengapa utara
selalu mengarah ke atas, selatan ke bawah, barat ke kanan, dan timur ke kiri?
Dan itu semacam fundamental quantities yang
telah disepakati seluruh warga dunia. Bahkan, ketika saya pernah jumpa sebuah
undangan pernikahan dengan peta arah utara yang menunjuk ke kanan, guru saya
mengatakan itu adalah bentuk dari sebuah ketololan dari si pembuat undangan–
tentunya ketika saya menanyakannya pada beliau. Dan itu membuat saya sadar
bahwa arah Utara, Selatan, Timur, Barat tak lain sama dengan kilogram,
centimeter, dan meter. Mengetahui hal
itu, sebuah paradigm baru muncul dalam spekulasi penulis. Bahwa, sebenarnya
arah-arah itu, Utara, Selatan, Timur, Barat, tidaklah benar-benar ada. Bak
garis lintang, bujur, dan khatulistiwa. Mereka ada dengan maksud untuk
mempermudah segala urusan. Mereka semua adalah hal khayal buatan manusia. Merka
tidaklah benar-benar ada. Penjuru mata angin itu tidaklah ada.
Manusia
memang makluk yang melankolis. Ia memulai sesuatu, membuat, dan menetapkan. Namun, pada akhirnya ia hanya akan membodohi generasi berikutnya. Mereka
menciptakan sebuah hal-hal konyol yang tidak masuk akal, namun mereka tidak
dapat menjelaskannya. Kasus penjuru mata angin nampaknya bukalah sebuah hal
yang “cukup” sederhana. Sebuah pemikiran polos bocah ingusan ternyata cukup bisa
membuat “masalah”. Salah satu tugas dari kritikus adalah mengkritik dan menulis
komentar negative untuk dijajakan di media cetak. Namun, dalam sumpah serapanya
itu setidaknya ia cukup berpikir untuk menuliskan lontaran yang akan ia umbar –
tidak seperti tokoh di atas yang telah saya jelakan. Saya sering mencomooh semboyan
terkenal dalam salah satu film bahwa semua orang itu bisa memasak. Namun,
mereka melupakan satu hal, bahwa tidak semua masakan itu memiliki rasa yang
lezat. Perumpamaan seorang kritikus dan makanan setidaknya cukup untuk
mengambarkan tingkah pola manusia.
Semenjak
kecil tentu kita telah dibiasakan – lebih cenderung dipaksa – untuk makan tiga
kali sehari. Padahal ketika perut tidak merasa lapar. Namun saat ini, makanlah
ketika perut Anda lapar. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu dibenci Tuhan?
Anda masih kenyang, namun ada dipaksa dan memaksakan perut anda. Bukankah itu
termasuk kategori “berlebihan”?
Memikirkan
tentang pola tingkah manusia setidaknya tidak akan pernah cukup jika ditorehkan
dalam sebuah lembar kertas dan tinta hitam. Manusia itu rumit, melankolis, dan
juga konyol. Sepertinya lagu “Maroon 5 – Animals” tidak cocok menggambarkan
manusia. Karena hewan tidak serumit dan seserakah manusia. Sepertinya yang
membuat negeri ini lucu bukan sistemnya, melainkan manusiannya – pembuat
system. Ah, sepertinya terbahak seharian tidak akan cukup untuk menertawakan
kelucuan tingkah pola kita. Lucunya kita!
Sumber: Di sini
Dituliskan
Oleh;
Arlinda
Silva Prameswari
July,
11th 2015
Menunggu
Hari Fitri, Menuju Malam Lailatul Qadar

Tidak ada komentar:
Posting Komentar