Pembuka

Laman seorang pemikir salah kaprah yang menulis seenak kupingnya. Tulisan di laman ini adalah murni dari penulis. Beberapa artikel mungkin mengandung unsur "doktrin" ataupun "opini serapah"

Gambar Header

Gambar Header

Jumat, 25 Desember 2015

COMPREHENSIVE ACTION: MENGIKIS PRAKTIK MONOPOLI DAN “CACAT” SISTEM DALAM UPAYA REALISASI UHC (UNIVERSAL HEALTH COVERAGE) 2019

Rakyat sehat, negara kuat. Begitulah frasa yang sering terdengar di kedua kuping saya. Seolah berpegang teguh pada prinsip tersebut, Indonesia yang menduduki peringkat pertama jumlah penduduknya di kawasan Asia Tenggara, jungkir-balik membuat sebuah aksi nyata. Tidak tanggung, Indonesia bahkan menargetkan terealisasinya UHC (Universal Health Coverage) yaitu sistem kesehatan yang memastikan setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu meliputi preventif, kuratif dan rehabilitatif pada tahun 2019 (Supriyantoro, 2014). Indonesia dalam rangka mencapai tujuan global UHC menerapkan kebijakan jaminan sosial secara nasional melalui undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pelaksana program jaminan sosial tersebut. Menghadapi tantangan menuju UHC, maka pemerintah menyusun strategi dengan pengintegrasian Jamkesda kedalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dikelola secara terpusat oleh BPJS (Kemenkes, 2014). Namun, fakta di lapangan mengatakan bahwa berlakunya BPJS tidak mendapat dukungan yang baik oleh kondisi yang ada di daerah. Sistem dan landasan BPJS yang terkesan amburadul dan tumpang tindih juga dianggap sebagai aktor utama prevelensi keberhasilan program tersebut tidak maksimal. Alhasil, bukan dosa besar jika media memberi label BPJS adalah sistem yang pincang. Namun, sebagai seorang mahasiswa terutama anak kedokteran, suatu hal yang tidak sedap dipandang jika kita hanya duduk dan berdiam melihat “rumah” milik sendiri berantakan. Sesuai dengan hakikat mahasiswa yang bisa melakukan hubungan vertikal dan horizontal sekaligus. Horizontal dalam artian mahasiswa merupakan objek yang paling dekat berinteraksi dengan masyarakat sehingga mengetahui kondisi kekinian masyarakat. Vertikal dalam artian mahasiswa bisa berdialog langsung dengan penguasa dan menyuarakan semua jeritan rakyat. Diharapkan ikut andilnya mahasiswa akan menghasilkan suatu kebijakan revolusif dan jauh dari praktik monopoli. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan mahasiswa kedokteran untuk “membersihkan” rumah milik mereka:
1.      Public Private Partnership
Melalui wadah ISMKI, Mahasiswa kedokteran dapat melakukan kajian terhadap pemberlakuan Public Private Partnership (PPP), hubungan antara sektor publik (pemerintah) dan pihak swasta dalam konteks pembangaunan infrastruktur dan pelayanan lain (Djunaedi et al, 2007). Lebih tepatnya dalam rangka pengadaan jasa dan pelayanan yang belum tersedia, memperbaiki efisiensi kesehatan, dan menurunkan biaya pendanaan di daerah. Beberapa stakeholder terkait seperti IDI, IAI, IDAI, maupun KEMENKES dihadirkan dalam satu forum umum sebagai mediasi dan tukar pikiran karena institusi tersebut dianggap lebih tahu akan beberapa kasus yang kerap terjadi di lapangan (daerah). PPP dilatarbelakangi karena adannya persebaran yang tidak merata terhadap jumlah dokter, internship maupun PTT, di wilayah nusantara. Menurut data penelitian terbaru yang melibatkan 3557 dokter intership, 1589 (48,9%) lebih memilih praktik pada tempat yang mereka inginkan, 1055 (32.5 %) mendapat pilihan alternatif, 215 (6.6%) memilih propinsi tempat asalnya, dan 315 (11%) sisanya. Tempat paling favorit untuk melakukan internship adalah Jawa Timur (437; 14.43%), Jawa Tengah (309; 10.20%), dan Bali (277; 9.15%), sementara tiga tempat yang menjadi prioritas akhir adalah Sulawesi Tenggara (10; 0.33%), Sulawesi Tengah dan Kalimantan Utara (keduannya 17; 0.56%) (Enggar et al, 2015). Melalui kajian data di atas, tentulah mustahil untuk mewujudkan peningkatan kesehatan Indonesia mengingat jumlah tenaga medis yang tersedia pada beberapa daerah saja minim.  Ironi jika Indonesia mendalih dapat mewujudkan UHC 2019 yang cakupannya universal, padahal peningkatan kesehatan daerah saja belum bisa. Dan permasalah yang paling mendasar adalah sebagian besar responden (49.2%) memilih melakukan internship di tempat paling dekat dengan rumah, 10,39% berdasarkan pilihan keluarga, 8.7% berdasarkan fasilitas transportasi, dan hanya 5.39% beralasan untuk menemukan pengalaman baru (Enggar et al, 2015). Jika terus menunggu dokter-dokter yang tergerak hatinya mau ditempatkan di daerah, yang sekarang jumlahnya kurang dari 10% itu, target UHC 2019 sudah dipastikan molor. Bahkan, butuh beberapa puluh tahun lagi untuk mewujudkannya

2.      Melakukan Advokasi
Runtuhnya pemerintahan orde baru yang totaliter berkat peran aktif mahasiswa. Tentunya melakuan advokasi pada pasa-pasal BPJS yang dianggap memberatkan bukanlah suatu hal yang asing. Pasal 55 dan Pasal 19 ayat 1 dan 2 sudah cukup banyak menarik perhatian. Gugatan terakhir pada Mahkamah Konstitusi terjadi tanggal 7 Januari 2015, namun hingga saat ini belum ada tindakan yang tegas. Pasal 19 ayat 1 dan 2 yang mengatur kewajiban bagi perusahaan untuk memungut iuran dari pekerjanya serta membayarkan iuran yang menjadi tanggung jawab perusahaan kepada BPJS banyak ditentang karena dianggap membatasi ruang gerak perusahaan untuk memberikan pelayanan jaminan yang lebih baik bagi karyawannya. Sementara pada Pasal 55 yang mengatur ketentuan sanksi pidana dan denda bagi perusahaan yang tidak mau membayarkan iurannya dan karyawannya ke BPJS juga membawa cukup polemik. Kewajiban tersebut membuat perusahaan tidak bisa minta bantuan kepada pihak penyedia jaminan kesehatan selain BPJS (yang Pelayanannya mungkin diatas BPJS) untuk menjamin kesehatan pekerjanya (MK, 2015). Selain itu, ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 ayat 1 tersebut juga berpotensi menyuburkan praktik monopoli. Saya tekankan lagi, monopoli! Pasalnya ketentuan tersebut hanya mengatur peran BPJS dalam pemberian jaminan kesehatan pekerja perusahaan. Perusahaan penyedia jaminan kesehatan lain tidak diberikan ruang oleh negara untuk ikut serta. Jika negara mau jamin kesehatan masyarakatnya silahkan, tapi dalam konteks ini jangan hilangkan peran masyarakat dan penyedia jaminan untuk bisa ikut berperan. Ditambah lagi penarikan tarif yang dipakai pukul rata sehingga banyak rumah sakit peserta BPJS mengeluhkan iuran yang mereka terima. Rumah sakit pun harus melayani banjirnya pasien-pasien miskin yang membanjir (bahkan pasien mampu yang mengaku miskin agar tak terkena premi asuransi BPJS) (Detik, 2015). Akhirnya BPJS mulai tekor dan layanan semakin buruk aja.

3.      Aliansi Mahasiswa, Sinergi daerah dan pusat
Tahun 2019 pola kependudukan Indonesia akan membentuk piramida terbalik dimana penduduk usia menegah keatas berada pada puncak rantai. Masalah pokok saat ini adalah terjadinya desentralisasi kewenangan pemeritah daerah sementara tuntutan dimasyarakat akan transparansi dan tata kelola meningkat. Selain itu,  meningkatnya tekanan terhadap sistem pelayanan kesehatan untuk menjamin kesetaraan akses diseluruh Indonesia juga mengiringi. Oleh karena itu untuk mewujudkan UHC 2019, dibutuhkan koordinasi multi sektoral. Kementrian kesehatan tidak jadi unjung tombak tunggal karena 70% masalah kesehatan terkait dengan kesediaan infrasutuktur, tingkat pendidikan, dll (AIPHS, 2014). Peran aktif mahasiswa kedokteran yang bekerjasama dengan mahasiswa jurusan lain perlu dilakukan. Dengan bergabungnya aliansi mahasiwa maka kerjasama lintas sektor dan koordinasi lintas dengan pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik. Mahasiswa (bukan hanya kedokteran) ikut berperan aktif, terjun, dan mengawasi jalannya pelayanan kesehatan di Indonesia. Mahasiswa menjadi media penghubung antara warga dengan kementrian sehingga politik monopili tidak dapat terjadi.

Mewujudkan UHC 2019 sejatinya bukan sebuah hal yang mudah. Gagasan yang dilakukan pemerintah Indonesia bisa dinilai cukup cemerlang. Namun, disetiap hal pastilah ada kekurangan. Praktik BPJS yang makin membuktikan suburnya praktik monopili di negara kita, perlu segera dibenahi. Bukan BPJS yang salah, namun sistem yang salah. Karena itu, peran aktif mahasiswa terutama anak kedokteran sangat diperlukan untuk mewujudkan sistem kesehatan yang komprehensif dan jauh dari praktik politik monopoli untuk UHC 2019 mendatang.

REFERENCE:
Australia – Indonesia Partnership for Health System Strategy (AIPHS). 2014. Menelaah Sektor Kesehatan Dengan Lebih Seksama. Dilihat 20 November 2015. < http://aiphss.org/>.
                                                                                  
Djunaedi, Parptono. 2007. Implementasi Public-Private Partnerships dan Dampaknya ke APBN. Majalah Warta Anggaran ed 6. Jakarta: Direktorat Jendral Anggaran.

Enggar SK, Wendi N, Ilham H, Aditya N. 2015. The Interns’ Distribution and Preference in Choosing Places for Internship Program. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran. 2014. Kajian BPJS-JKN: Tanggapan Kami para Mahasiswa Kesehatan. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Kementrian Kesehatan. 2012. Paparan JKN dalam SJSN. Jakarta: Kementrian Kesehatan. 

Mahkamah Konstitusi (MK). 2015. Timbulkan Monopoli dan Diskriminasi, UU BPJS Digugat. Dilihat 20 November 2015. < http://www.mahkamahkonstitusi.go>.

Rokx C et al. 2009. Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map. World Bank. Jakarta.

Simmonds A, Hort K. 2013. Institutional analysis of Indonesia’s Universal Health Converage Policy.

Supriyantoro. 2014. Formulasi Kebijakan Integrasi Jaminan Kesehatan Daerah ke Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Menuju Universal Health Coverage. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Thabrany et al. 2012. Telaah Komprehensif Jaminan Pemeliharaan Kesehatan di Indonesia. Jakarta: YPKMI.

Triyono A. 2015. Empat perusahaan gugat aturan BPJS Kesehatan. Dilihat 20 November 2015. <http://nasional.kontan.co.id>.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar