”Gemersak
dedaunan di Bulan September yang selaras dengan bunyi detikan jarum jam akan
menghasilkan sebuah melodi lembut nostalgia”
Konbawa!
Edisi
kali ini penulis akan membawa pembaca sekalian pada sebuah topik ringan yang
juga akan “sedikit membawa curhatan”. Kau tahu, tulisan ini dibuat oleh penulis
sejatinya hanya untuk mengisi waktu kosong yang menurutnya sangat membosankan. Kuberitahu
kau, menunggu koneksi Wi-Fi yang error
itu berasa 1000 tahun saja. Akan lebih baik jika kau memilih untuk menulis nama
mantanmu di dinding kamar mandi (itupun
jika kau pernah punya pacar) atau menghabiskan bonusan paket sms pada
teman-teman sejawatmu. Ah, sepertinya kali ini penulis tidak terlalu banyak
membawa kalimat-kalimat berbau sarkasme dan hiperbolis. Seringkali penggunaan
kalimat-kalimat semacam itu yang terlalu tinggi membuat orang sukar
memahaminya. Hingga tak jarang kau sering dianggap orang lain bodoh – atau memulai
masalah? – dan pada akhirnya kau malah diceramahi dengan syair-syair atau prosa
kerohanian (yang penulis pribadi
meragukan kepahaman si penceramah) yang tak kunjung habisnya. Berhadapan dengan orang tanpa intuisi itu
terkadang menyusahkan.
Bulan
September selalu membawa cerita. Bulan dimana angin berhembus kencang mengantar
hawa dingin dan datangnya butiran salju. Dedaunan menguning kecoklatan, lantas
jatuh perlahan mengikuti gravitasi. Jika kau adalah pendengar yang handal,
gemersak dedaunan yang selaras dengan bunyi detikan jarum jam akan menghasilkan
sebuah melodi nostalgia. Satu dari sekian alasan mengapa begitu banyak lagu
dengan membawa nama “September” tercipta. Kalau boleh kusarankan, dengarlah salah
satu lagu milik Maroon 5 dengan judul yang tidak jauh juga dari kata “September”.
Tidak
hanya sebuah kisah yang tercipta dari tangan-tangan composer di bulan September, tetapi juga kisah yang ditorehkan oleh
seorang mahasiswa, aparatur pemerintah, elit politik, maupun para dosen wali
yang sedang melayani KRS-an. Bulan September adalah awal dimana libur musim
panas berakhir. Bulan September pula adalah awal dimana para mahasiswa mulai
berhadapan dengan meja kuliah maupun tutorial. Namun, yang lebih dari itu semua
adalah bulan dimana sorak para mahasiswa baru mengakhiri masa orientasinya. Ah,
penulis jadi merasa nostalgia kembali. Mengerjakan tugas ospek hingga larut,
bahkan tidur hanya dua jam; berangkat pagi pukul enam; keliling kota cari
bahan; sedirian di ruang anatomi sama cadaver;
dimarahin kakak panitia ospek; tidur saat ada materi; hingga jatuh di jalan
raya karena ngantuk saat sepeda-an (untung
jalanan sepi euy soalnya jam 10-an malem). OSPEK Fakultas itu memang
greget!
Bicara
tentang hal greget, ada yang tidak
kalah seru. Semua nitizen benar-benar heboh menanggapi hal ini. Mulai dari
orang cupu hingga para spesialis mengeluarkan suarannya menanggapi isu gamblang
yang sedang memanas kali ini. Apa pula jika tidak kurs Rupiah yang anjlok?
Bisakah kau bayangkan, rupiah yang jaman pemerintahan SBY saja paling pol hanya Rp. 12.000, sekarang malah
hampir Rp 15.000. Pantas saja harga apapun meroket. Presiden menjadi cacian dan
para menteri menjadi kelabakan. Semoga saja hasil re-shuffle kabinet benar-benar kasat mata. Bukan cuma omong
gamblang dan resolusi semata. Namun, dibalik itu semua yang sedikit mengejutkan
adalah lontara beberapa nitizen yang mengatakan bahwa jika Rupiah benar-benar menembus
Rp 15.000 peristiwa reformasi 18 tahun silam akan terulang. Penulis tidak ingat
benar bagaimana reformasi itu sebenarnya karena saat itu penulis masih berupa bayi merah. Namun, dari sekian banyak
sumber dan cerita mengatakan bahwa masa reformasi adalah masa dimana sebuah
negara benar-benar berada di posisi ujung tanduk. Pemberontakan dimana-mana
diikuti pula oleh pembantaian. Seperti kasus pembantaian ras tionghoa, Mei 18
tahun silam. Orang tionghoa yang dicurigai menjadi satu dari sekian sebab
terpuruknya perekonomian Indonesia dibabas habis layaknya rumput liar di padang
golf. Tidak peduli itu pria-wanita, tua-muda, kaya-miskin, semua di babat habis
tanpa sisa. Siapapun itu, jika ia seorang kulit putih dengan mata sipit dan
rambut hitam berjalan atau lewat dijalanan, maka ia akan digondol oleh sekelompok orang bersenjata tidak dikenal. Hal ini
membawa sebuah trauma tersendiri bagi mereka (orang-orang ras tionghoa) hingga
menyebabkan mereka kabur dari rumah, pergi tanpa membawa barang-barang, bahkan
pindah warga negara. Beberapa orang tionghoa borjuis menyewa anggota tentara
bersenjata untuk menjaga harta mereka, sementara ia sendiri pergi menyelamatkan
diri. Namun, beberapa juga malah sudah tidak memerdulihkan harta mereka dan
alhasil barang dagangannya dijadikan jarahan dan diperebutkan banyak orang,
seperti yang terjadi di Kota Ambon 18 tahun silam.
Sumber: Disini
Tidak hanya ketakutan akan peristiwa reformasi yang terulang, tapi juga siku-sikutan antara pendukung presiden Jokowi dan pendukung mantan rivalnya, Pak Prabowo, yang juga ikut menyemarakan jagat media sosial. Pendukung Pak Wowo (Prabowo) nampaknya begitu bergairah mengkritisi pemerintahan Pak Wowi (Jokowi) yang makin terpuruk saja hari demi hari. Beberapa pendukung Pak Wowi juga dengan lantang menyatakan keluar dari “Perhimpunan Salam Dua Jari” dan berbalik menyerang dengan kata yang tidak kalah pedasnya. Namun, disisi lain pengikut Pak Wowi juga berkicau dengan riangnya memberikan pembelaan dan semanagat pada presidennya. Karena setidaknya Pak Wowi sudah melakukan sebuah usaha seperti mengadakan reshuffle kabinet hingga berakhir dengan terdepaknya menko ekonomi, ketimbang hanya duduk dan menanggapi keadaan. Namun yang lebih menarik dari itu semua adalah kicauan mantan presiden SBY yang “seolah” mengatakan bahwa presiden baru ini kurang becus dalam menjalankan tugasnya. Karena mengurus kurs rupiah saja bisa sampai separah itu. Begitu pula dengan anak bungsunya, Ibas Yudhoyono, yang sempat melayangkan lontaran di media massa menyatakan bahwa alangkah lebih baik jika ayahnya yang menjadi presiden saja.
Presiden
Jokowi sendiri nampaknya masa bodoh saja menanggapi ocehan para outsider. Hingga kembali membuat geram
para nitizen dengan keluarnya berita bahwa sang presiden membawa serta
anak-anaknya saat melakukan kunjungan luar negeri. Padahal kunjungan itu pakai
uang negara. “Sama saja memakan gaji buta”,
tulis salah satu nitizen. Banyak pula yang mensalahkan Jokowi orang yang tidak
begitu tegas, tidak cekatan, dan tidak berwibawa. Melihat dari latar belakang
sang presiden yang lulusan sarjana Kehutanan dan seorang pengusaha mebel,
sementara presiden-presiden pendahulu yang orang Militer-an selalu sukses
mengeluarkan Indonesia dari lubang hitam perekonomian.
Namun, dibalik hiruk pikuk media sosial itu, adalah sebuah fakta mengejutkan jika orang yang paling dirugikan dari dampak krisis moneter 2.0 Indonesia adalah Mahasiswa. Tepatnya mahasiswa perantauan. Meningkatnya harga kebutuhan hidup bocah kos-kos an yang jika dibandingkan dengan pemasukan bulanan yang tetap menjadi kendala tersendiri. Belum pula modul maupun buku-buku keluaran fakultas (dalam hal ini Kedokteran) yang harganya “mencekik” itu padahal cuma beberapa “lembar saja” menuntut untuk segera diselesaikan (apalagi jika bendahara kelas nya adalah orang yang bicaranya ceplas-ceplos). Dan kebanyakan dari mereka-mereka anak kedokteran itu merasa masa bodoh dengan keadaan ekonomi sekarang dan serapah para nitizen diluar sana. Jika ditanya apa tanggapan dan tindakan mereka akan keadaan ekonomi sekarang, maka jawaban konkretnya adalah “Mengirit Pengeluaran Pada Level Paling Dewa Agar Tetap Bisa Makan, Bayar Modul, Jalan-Jalan, serta Tidak Ngutang di Akhir Bulan”. Yah, jangan pula ditanya alasan “jalan-jalan” masuk dalam daftar pilihan karena hal itu adalah ritual sakral anak kedokteran tiap akhir blok setelah penat dengan semua perkataan dosen, praktikum, tutorial, dan ujian blok yang mengerikan. Walaupun terkadang artian jalan-jalan itu sendiri sangat jauh dengan ekspektasi pembaca akan jalan-jalan yang sebenarnya.
Sekian
dari seribu kata yang telah diucapkan penulis, sampai jumpa di edisi
berikutnya. Salam anak Perantauan yang terdesak perekonomian!
P.s : Semoga IPK Semester bagus
P.s.s : Blok depan harus dapat A ya, kawan!
P.s.s.s : Yang koas semangat jaga RS, walau sering
diserapahi dokter konsulen
Ditulis Oleh:
Arlinda Silva
Prameswari
September, 9th
2015
Menunggu Koneksi
Wi-Fi dan Projek Paper



Tidak ada komentar:
Posting Komentar