Pembuka

Laman seorang pemikir salah kaprah yang menulis seenak kupingnya. Tulisan di laman ini adalah murni dari penulis. Beberapa artikel mungkin mengandung unsur "doktrin" ataupun "opini serapah"

Gambar Header

Gambar Header

Rabu, 01 Juli 2015

MEDIA INFORMASI TEPAT GUNA: UPAYA PREVENTIF UNTUK MEREDUKSI AKI (ANGKA KEMATIAN IBU) DENGAN MENGUBAH POLA PIKIR NIKAH DINI DI MASYARAKAT

Tahun baru 2015, masih segar dalam ingatan euforia bunyi terompet dan kembang api melejit di angkasa. Suka riah disetiap sudut kota, atau bahkan pelosok desa yang riuh dengan suasana nonton bareng me nyambut pergantian tahun. Namun, kali ini saya tidak akan membahas kontras warga desa dan kota tentang cara mereka dalam merayakan pergantian kalender hijriah. Jika boleh mengintip beberapa tahun kebelakang, maka anda akan menemukan sebuah kejutan bagi bangsa ini di tahun 2015. Kejutan yang tampaknyatelah diketahui oleh pemerintah atau tidakyang akan menentukan harga diri bangsa di pentas dunia. Goal dari Millenium Declaration 2000.

Millenium Declaration atau disingkat dalam Bahasa Inggris MDGs adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Namun, bagaimana jika tahun ini Indonesia gagal mencapai target tersebut? Bukankah Indonesia merasa sanggup mencapai target itu dengan ikut serta menandatanganginya? Lalu, mengapa masih gagal? Apakah penandatanganan itu hanya sebuah formalitas belaka?

Indonesia adalah negara dengan penduduk terpadat di Asia Tenggara dan menduduki peringkat tiga dunia. Tentu tidak semudah membalikan telapak tangan untuk mencapai delapan poin yang ditargetkan dalam deklarasi tersebut, karena selain membutuhkan dana yang besar, Indonesia juga masih tersandung hutang negara yang membukit—atau menggunung. Yang entah butuh berapa puluh tahun lagi untuk melunasinya. Sejauh ini pemerintah kita sibuk renegosiasi hutang untuk capai target MDGs, mendesak negara-negara untuk memberikan kucuran dana tanpa syarat. Lantas, hanya butuh hitungan jari saja negara ini akan “bobrok” menunggu perbaikan dari kucuran dana tanpa syarat negara utara­—yang belum tentu juga tidak ada “buntut” di belakangnya.

Penduduk banyak seyogyanya memberikan sebuah kontribusi yang besar pula pada bangsannya. Sebuah ironi adalah ketika natalitas penduduk Indonesia yang kian hari semakin membludak juga selaras dengan mortalitas ibu pascapersalinan. Tentunya setiap pasangan ingin memiliki buah hati yang akan menjadi penerus mereka. Siapa pula yang tidak ingin menikmati masa tua dan melihat keturunan mereka hidup bahagia? Namun, pernakah anda berfikir bagaimana wanita diluar sana dengan mudahnya meregang nyawa seusai persalinan? She never got to hold her baby. That is one of the hardest things for me.


Mortalitas ibu hamil dan pascapersalinan bukanlah sebuah isu yang main-main. Tahun 2000, estimasi jumlah mortalitas ibu pascapersalinan menurut WHO adalah 529.000, 95 persennya terjadi di negara-negara Afrika dan Asia. Sementara wanita di negara berkembang hanya memiliki kesempatan hidup satu dalam 2,800 kelahiran —dan kesempatan hidup satu dalam 8,700 kelahiran dibeberapa negara— wanita di Afrika memiliki kesempatan hidup satu dalam 20 kelahiran (Hunt & Judith 2010, h. 4).  
Isu ini tidak hanya berkembang di negara-negara miskin Afrika ataupun negara berkembang layaknya Indonesia, namun negara-negara “elit” pun tidak luput dalam cengkraman pita hitam kutukan kematian. Maret 2010, sebuah media di Amerika Serikat, Amnesty International, dalam sebuah artikel The Maternal Health Care Crisis in the USA (dikutip dalam Deadly Delivery, 8 Februari 2011, h.1) melaporkan bahwa USA menempati peringkat 41 dunia dalam daftar jumlah mortalitas wanita  terbanyak dalam setahun.

Sementara dalam negeri sendiri, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Julianto Witjaksono SpOG, KFER, MGODi dalam Seminar Kesehatan Reproduksi Remaja “Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja dalam Upaya Meningkatkan Kesehatan Ibu di Indonesia” di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Sabtu, 9 Agustus 2014, mengatakan bahwa kasus kematian ibu, terutama di desa menempati urutan teratas, 70/1000. Sementara yang ditargetkan oleh MDGs adalah 30/1000 penduduk.

Ia pun menambahkan Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 yakni 9.120 orang meningkat ditahun 2012 menjadi 17.950. Artinya naik 196,8 persen dan dikalkulasikan per tahun 17 ribu jiwa melayang. Resiko kematian ibu karena melahirkan di Indonesia adalah 1 dari 65, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan resiko 1 dari 1.100 di Thailand.

Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia (2007) mengemukakan bahwa penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (30%), eklampsia (25%), partus lama (5%), komplikasi aborsi (8%), dan infeksi (12%). Resiko kematian meningkat, bila ibu menderita anemia, kekurangan energi kronik dan penyakit menular. Aborsi yang tidak aman bertanggung jawab pada sebelas persen kematian ibu di Indonesia. Aborsi yang tidak aman ini biasanya terjadi karena kehamilan yang tidak inginkan (unwanted pregnancy).

Namun, ada satu hal yang menarik perhatian saya dari sekian kasus yang terjadi di atas. Lebih lanjut, meskipun dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menggariskan bahwa batas usia minimal menikah untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun, namun data Susenas 2006 menunjukkan bahwa 12,56 persen wanita berumur 10 tahun ke atas menikah pertama kali pada usia 15 tahun ke bawah. Sementara mereka yang menikah pertama kali pada usia 16 tahun (batas usia legal untuk menikah) hanya 9,84 persen (Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia, 2007).

Pernikahan usia dini berimplikasi pada peningkatan jumlah ibu melahirkan di usia yang sangat muda dan pada akhirnya meningkatkan risiko kematian. Tentu bukanlah sebuah mitos lagi bahwa hamil diusia muda mengemban sebuah beban tersendiri. Hamil diusia muda beresiko tinggi pada beberapa kemungkinan selama proses persalinan, seperti yang saya jabarkan sebelumnya. Satu dari sekian bukti nyata terjadi di Sleman. Dominasi kasus kematian ibu hamil kebanyakan berusia di bawah 25 tahun (Republika, 15 Jan 2014).

Contoh lain yang terkait dan merupakan perpanjangan dari permasalahan nikah dini adalah kasus yang terjadi dan hangat dibicarakan di Kota Malang. Malang sendiri bertengger diurutan keenam dengan jumlah AKI di Provinsi Jawa Timur. Siapa pula yang tidak kenal Kota Malang? Kota yang kata kebanyakan orang terkenal dengan “anak nakal” nya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa faktor pergaulan dan lingkungan memegang kontribusi besar terhadap diri seseorang. Hal ini juga berimbas dengan meningkatnya jumlah kematian ibu pascapersalinan. Satu yang menjadi sorotan saya pada kasus ini adalah pola pikir remaja yang cenderung “sesat daratan”. Tidak sedikit dijumpai remaja-remaja yang ingin cepat menikah, bahkan cenderung memaksa. Mereka bahkan belum berfikir jauh bagaimana kerasnya hidup dan rumitnya berumah tangga. Entah yang mereka angankan adalah kehidupan nyaman layaknya layar sinetron di televisi? Dan yang paling mengerikan, mereka rela berhenti sekolah, padahal ekonomi keluarga pun cukup mapan. Hal ini jelas terlihat dari kasus kematian ibu hamil yang didominasi dari keluarga ekonomi cukup. Pendidikan rata-rata ibu hamil yang meninggal tersebut sudah setingkat SMA (Republika, 15 Jan 2014). Hitung saja jumlah undangan pernikahan yang mengatasnamakan anda saat musim nikah tiba. Lebih dari sepuluh, atau mungkin duapuluh dalam dua pekan.

Fakta lapangan mengatakan bahwa nikah dini adalah sebuah gejala—atau mungkin fenomena­— yang menggerogoti pemuda saat ini. Memang, ada sekian faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan nikah dini. Lupakan sejenak tentang status pendidikan dan ekonomi rendah yang selalu dikait ulurkan dengan problematik masyarakat kekinian. Sebagai seorang yang menggeluti dunia kesehatan, saya akan mengkaji beberapa hal dalam sudut pandang saya terkait nikah dini, kesehatan, dan dampak sosialnya.

Secara biologis, seseorang akan memiliki perkembangan mental yang dikatakan “matang” seiring bertambahnya usia (Walters n.d., h. 17). Seorang anak usia sepuluh tahun akan bertolak belakang pola pikirnya dengan seorang yang berusia duapuluh lima tahun.  Seorang berusia empat belas tahun akan memiliki penyelesaian masalah yang kontras dengan seorang yang berusia duapuluh tujuh tahun. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran experience juga menentukan kematangan seseorang, namun tidak selalu. Dengan bermain analogi, pernyataan bahwa “Pengalaman adalah penentu kematangan seseorang, di atas segalanya” akan terpatahkan.

Seseorang yang hidup lebih lama di dunia tentu memiliki masa yang lebih lama pula untuk berfikir daripada seseorang yang “barusan” terlahir. Seseorang yang lebih tua akan selalu dimintai pendapat karena ia dianggap lebih tahu asam garam kehidupan. Dapat saya simpulkan bahwa usia memegang peranan penting dalam kematangan hidup seseorang. Ini juga berlaku pada seseorang yang nikah muda. Menurut Magdalena (2010) seseorang yang usiannya muda, dalam hal ini dan hingga selesainnya tulisan berikut akan saya sebut dengan remaja untuk lebih menegaskan, memiliki mental yang labil. Remaja adalah fase pencarian jati diri. Tidak mengherankan kasus perceraian menjamur di tengah masyarakat. Seolah menjadi trend, kasus perceraian dan kematian berjalan harmonis. Hal itu tidak lain dan tidak bukan karena nikah dini.

Tingkat kematangan mental yang rendah, menyebabkan seseorang memiliki stressor yang lemah. Orang yang nikah pada usia muda lebih muda mengalami stress. Seseorang yang mengalami stress tentunnya akan sulit untuk berfikir dan menjalani rutinitasnya (Segal unpub.). Lantas, dari sekian banyak penyebab kematian pascapersalinan yang saya sebutkan di atas, muncul satu pertannyaan. Mengapa bisa terjadi?

Remaja memiliki tingkat kematangan reproduksi yang belum optimal layaknya orang dewasa. Namun, remaja yang stress meningkatkan terjadinya resiko perdarahan, eklampsia dan sejenisnya. Pepatah “Stress dapat merusak hidupmu” memang benar adannya.

Maka untuk menyikapi hal tersebut diperlukan sebuah aksi nyata. Sebuah aksi yang integratif. Aksi nyata menyambut Goal MDGs 2015. Di bawah ini terdapat beberapa alternatif pemecahan, diantarannya adalah:

a.       Mengembangkan pola pikir anak usia dini terhadap bahaya nikah usia muda
Secara fisiologis, mengajarkan sesuatu pada anak akan lebih mudah daripada remaja atau orang tua (Donald, 2010). Mengajarkan hal benar pada orang yang belum tahu akan lebih mudah daripada mengajarkan sesuatu yang benar pada orang yang pernah salah dan berada dalam keadaan salah. Mengajarkan sesuatu pada orang yang mau untuk diajari lebih mudah daripada mengajar orang yang keras kepala dan berpikiran kolot. Dengan metode ini diharapkan output jangka panjang akan jelas lebih terlihat. Mengembangkan pola pikir anak usia dini terhadap bahaya nikah muda atau nikah dini bukan berarti kita harus menanamkan doktrin-doktrin bahwa nikah dini itu bahaya, atau bahkan dilarang. Mengembangkan pola pikir yang dimaksud adalah kita menjelaskan pada mereka tentang hal-hal yang akan mereka hadapi ketika menambil keputusan untuk nikah dini. Kita menjelaskan dengan metode sesederhana mungkin, karena selain yang kita hadapi adalah anak-anak bisa pula ada beberapa orang awam yang mendengar dan memproses suara anda. Karena tidak jarang orang awam menjadi lebih kompleks dari yang anda pikirkan.

Harapan Indonesia dimasa depan tidak akan mengalami kasus serupa. Anak-anak akan menancapkan ajaran yang mereka dapat dan menjadikan prinsip hidup. Sebagai seorang tenaga kesehatan, anda dapat mulai dengan lingkungan sekitar. Tetangga, ataupun anak-anak sekitar gang rumah yang bermain di rumah anda. Ajaklah mereka berkomunikasi. Tidak perlu hal-hal berat yang anda sampaikan. Cukup sampaikan bahwa mereka harus berjuang untuk mimpi-mimpinya. Berjuang hingga mimpi itu tercapai. Komunikasikan secara berkelanjutkan maka diharapkan munculnya semacam sugesti dan mengalihkan perhatian mereka terhadap nikah dini dimasa mendatang atau perbuatan yang meningkatkan terjadinya resiko nikah dini.

b.      Ikalan layanan masyarakat yang tidak provokatif namun aplikatif
Pernah menyaksikan iklan layanan masyarakat? Tidak dapat dipungkiri bahwa televisi membawa perubahan besar dalam peradaban manusia. Jika remaja membawa doktrin nikah dini dari televisi, atau tepatnya sinetron-sinetron yang tidak mendidik itu, kita kembalikan pula bahwa doktrin nikah dini tidak sepenuhnya baik dengan televisi melalui iklan layanan masyarakat.

Sepanjang pengamatan saya, iklan layanan masyarakat produksi pemerintah yang banyak beredar dimasyarakat kekinian hanya mengiklankan tentang secondary level of prevention. Pemerintah hanya mengiklankan sebuah kasus masyarakat yang telah banyak disorot oleh publik massa. Hasilnya? Sungguh tidak efektif.

Sebut saja iklan layanan masyarakat KB (Keluarga Berencana). Iklan KB mulai muncul ketika dirasa publik memang sungguh-sungguh butuh akan iklan KB itu sendiri.  Darimana pemerintah tahu? Jawabannya satu, dari media massa. Banyak media yang menyorot, pemerintah merasa tanggungjawabnya mulai gagal, muncul iklan layanan masyarakat. Begitulah siklusnya dari dahulu. Dan yang paling penting, iklan layanan masyarakat cenderung memaksa, cenderung provokatif. Lantas muncul pertanyaan, siapa pula yang mau untuk dipaksa? Tidak seorang pun.

Inilah titik lemah dari iklan layanan masyarakat. Mengutamakan pencegahan itu penting, karena selain sesuai dengan prinsip pendekatan pelayanan dokter keluarga, pencegahan membuat seseorang tidak terlanjur jatuh ke jurang kegelapan. Primary level of prevention apabila diiklankan akan lebih aplikatif daripada secondary level of prevention. Karena pencegahan primer lebih pada upaya kita untuk mempromosikan tentang suatu hal. Upaya kita menjelaskan tentang suatu hal. Bukan upaya kita mempropagandakan suatu gerakan. Merekrut sebanyak-banyanknya sukarelawan, dengan harapan tujuan dapat tersampaikan. Sebuah kesalahan besar karena kebanyakan iklan layanan yang beredar adalah hal yang semacam.

Ini adalah momen yang tepat bagi pemerintah untuk mengiklankan tentang nikah dini. Karena sebenarnya, problematik nikah dini tidaklah— tepatnya belum menonjol namun membawa dampak besar. Banyak hal besar berasal dari hal kecil yang disepelekan atau yang tidak dihiraukan. Dengan upaya promosi diharapkan seseorang akan merubah pola pikirnya. Karena pada dasarnya upaya primer itu seperti bisa ular, perlahan namun mematikan. Tidak provokatif, namun aplikatif.

c.       Klik Online, Solusi tepat dan praktis.
Selain televisi, pembawa pembaharuan pada masyarakat kita adalah internet. Siapa pula yang tidak bisa mengoperasikan internet? Anak usia tujuh tahun pun mahir.
Internet adalah sebuah jaringan tanpa sekat. Orang bebas berkunjung dari laman ke laman, ataupun hanya sekedar mengintip isi laman tersebut. Penyebaran berita melalui media internet lebih cepat tersampaikan daripada media elektronik yang lain. Jika para entreprenur berlomba memasarkan produk mereka melalui internet, karena dianggap lebih cepat, murah, dan aplikatif, mengapa tidak kita aplikasikan pula topik yang kita bahas kali ini?

Hal yang pertama kali terlintas dalam otak saya adalah pembuatan web edukasi. Mendengar kata “edukasi” tentu tidak lepas dengan kesan malas dan membosankan. Namun, berdasar kesan itulah ide saya muncul.

Website dibuat simpel dan semenarik mungkin. Bisa pula digunakan perpaduan warna, karena warna adalah kesan pertama yang ditangkap oleh seseorang. Di dalam web tersebut, kita bahas semua yang berkaitan tentang remaja. Mulai dari mental seorang remaja yang belum matang, hingga kesiapan reproduksi yang belum optimal. Dari wacana tersebutlah, kita kaitkan dengan problematik nikah muda.

Untuk menjaga agar orang tetap berada dalam laman tersebut, disediakan pula content video animasi tentang nikah dini. Video bisa berisi dampak-dampak yang akan anda hadapi ketika mengambil keputusan untuk melakukan nikah dini. Untuk menambah kesan sugesti, disediakan pula game. Game yang cukup sederhana, namun memberikan sugesti orang untuk memainkan game tersebut. Saya sebut “Ramal Masa Depan Anda!”

Adaptasi game tersebut saya dapat dari game “Ramal Jodoh” yang sering teman sekelas mainkan. Konyol memang, namun membuat orang penasaran.  Dari kesan penasaran itulah orang mencoba. Dalam game “Ramal Masa Depan Anda!” akan diberikan beberapa pertannyaan dan pilihan yang wajib diisi oleh pengunjung. Diantaranya adalah usia, keputusan lima tahun mendatang, cita-cita, dan waktu nikah. Jika pengunjung menjawab ingin menikah dalam waktu dekat namun usia belum mencukupi, maka pada hasil akhir sistem akan menjawab “Masa depan anda suram”.

Dari masalah yang telah dijelaskan dan bukti-bukti yang telah ada kita bisa ambil kesimpulan bahwa problematik nikah dini bukanlah suatu hal yang sederhana dan pula kompleks. Sederhana karena kita dapat menyikapinya. Kompleks karena butuh usaha besar untuk memutus mata rantai dan doktrin masyarakat.

Untuk mewujudkan Goal dari Millenium Declaration 2000 diperlukan sebuah upaya yang tidak hanya sekali dilakukan namun berkelanjutan. Upaya yang sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini dan tidak memaksa, namun memberikan sugesti. Karena pada dasarnya, tidak seorang pun yang mau untuk dipaksa dan mau melakukan hal yang tidak sesuai dengan pemikiran mereka. Oleh karena itu, kita ubah pemikiran mereka. Kita lakukan beberapa pendekatan pada masyarakat. Kita lakukan upaya professional. Kita menyampaikan, namun memberi kesan tidak menyampaikan. Kita memberikan media informasi dalam bentuk yang tidak biasa. Sesuai dengan prinsip pendekatan pelayanan dokter keluarga, pencegahan adalah hal yang utama. Melalui upaya pengembangkan pola pikir anak usia dini terhadap bahaya nikah usia muda, iklan layanan masyarakat yang tidak provokatif namun aplikatif, dan upaya melalui website di internet diharapkan akan tercipta masyarakat yang harmonis di negeri kita. Harmonis bukan berarti memiliki keluarga sedini mungkin. Harmonis adalah ketika kita hidup membawa profit bagi masyarakat untuk kesejahteraan Indonesia yang lebih baik menjelang MDGs 2015. 

Ditulis Oleh:
Arlinda Silva Prameswari
Mahasiswa Tingkat II Pendidikan Dokter
February, 2nd 2015
Ketika yang biasa tak lagi biasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar