Tahun
baru 2015, masih segar dalam ingatan euforia bunyi terompet dan kembang api
melejit di angkasa. Suka riah disetiap sudut kota, atau bahkan pelosok desa
yang riuh dengan suasana nonton bareng
me nyambut pergantian tahun. Namun, kali ini saya tidak akan membahas kontras
warga desa dan kota tentang cara mereka dalam merayakan pergantian kalender
hijriah. Jika boleh mengintip beberapa tahun kebelakang, maka anda akan menemukan
sebuah kejutan bagi bangsa ini di tahun 2015. Kejutan yang tampaknya—telah diketahui oleh pemerintah atau tidak—yang akan menentukan harga diri bangsa di pentas dunia.
Goal dari Millenium Declaration 2000.
Millenium Declaration
atau disingkat dalam Bahasa Inggris MDGs adalah Deklarasi Milenium hasil
kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan
butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai
kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Namun, bagaimana
jika tahun ini Indonesia gagal mencapai target tersebut? Bukankah Indonesia
merasa sanggup mencapai target itu dengan ikut serta menandatanganginya? Lalu,
mengapa masih gagal? Apakah penandatanganan itu hanya sebuah formalitas belaka?
Indonesia
adalah negara dengan penduduk terpadat di Asia Tenggara dan menduduki peringkat
tiga dunia. Tentu tidak semudah membalikan telapak tangan untuk mencapai
delapan poin yang ditargetkan dalam deklarasi tersebut, karena selain
membutuhkan dana yang besar, Indonesia juga masih tersandung hutang negara yang
membukit—atau menggunung. Yang entah butuh
berapa puluh tahun lagi untuk melunasinya. Sejauh ini pemerintah kita sibuk
renegosiasi hutang untuk capai target MDGs, mendesak negara-negara untuk
memberikan kucuran dana tanpa syarat. Lantas, hanya butuh hitungan jari saja
negara ini akan “bobrok” menunggu perbaikan —dari
kucuran dana tanpa syarat negara utara—yang belum
tentu juga tidak ada “buntut” di belakangnya.
Penduduk banyak seyogyanya memberikan sebuah
kontribusi yang besar pula pada bangsannya. Sebuah ironi adalah ketika natalitas
penduduk Indonesia yang kian hari semakin membludak juga selaras dengan mortalitas
ibu pascapersalinan. Tentunya setiap pasangan ingin memiliki buah hati yang
akan menjadi penerus mereka. Siapa pula yang tidak ingin menikmati masa tua dan
melihat keturunan mereka hidup bahagia? Namun, pernakah anda berfikir bagaimana
wanita diluar sana dengan mudahnya meregang nyawa seusai persalinan? She
never got to hold her baby. That is one of the hardest things for me.
Mortalitas ibu hamil dan pascapersalinan bukanlah sebuah isu yang main-main.
Tahun 2000, estimasi jumlah mortalitas ibu pascapersalinan menurut WHO adalah
529.000, 95 persennya terjadi di negara-negara Afrika dan Asia. Sementara
wanita di negara berkembang hanya memiliki kesempatan hidup satu dalam 2,800 kelahiran —dan kesempatan hidup satu dalam
8,700 kelahiran dibeberapa negara— wanita di Afrika memiliki kesempatan hidup
satu dalam 20 kelahiran (Hunt & Judith 2010, h. 4).
Isu ini tidak hanya berkembang di negara-negara miskin Afrika ataupun
negara berkembang layaknya Indonesia, namun negara-negara “elit” pun tidak
luput dalam cengkraman pita hitam kutukan kematian. Maret 2010, sebuah media di
Amerika Serikat, Amnesty International, dalam sebuah artikel The Maternal
Health Care Crisis in the USA (dikutip dalam Deadly Delivery, 8
Februari 2011, h.1) melaporkan bahwa USA menempati peringkat 41 dunia dalam
daftar jumlah mortalitas wanita terbanyak dalam setahun.
Sementara dalam negeri
sendiri, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Julianto Witjaksono
SpOG, KFER, MGODi dalam Seminar Kesehatan Reproduksi Remaja “Strategi Kesehatan
Reproduksi Remaja dalam Upaya Meningkatkan Kesehatan Ibu di Indonesia” di
Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Sabtu, 9 Agustus 2014, mengatakan
bahwa kasus kematian ibu, terutama di desa menempati urutan teratas, 70/1000. Sementara
yang ditargetkan oleh MDGs adalah 30/1000 penduduk.
Ia pun menambahkan Angka
Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 yakni 9.120 orang meningkat ditahun 2012
menjadi 17.950. Artinya naik 196,8 persen dan dikalkulasikan per tahun 17 ribu
jiwa melayang. Resiko kematian ibu karena melahirkan di Indonesia adalah 1 dari
65, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan resiko 1 dari 1.100 di Thailand.
Tim
Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia
(2007) mengemukakan bahwa penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan
(30%), eklampsia (25%), partus lama (5%), komplikasi aborsi (8%), dan infeksi
(12%). Resiko kematian meningkat, bila ibu menderita anemia, kekurangan energi
kronik dan penyakit menular. Aborsi yang tidak aman bertanggung jawab pada
sebelas persen kematian ibu di Indonesia. Aborsi yang tidak aman ini biasanya
terjadi karena kehamilan yang tidak inginkan (unwanted pregnancy).
Namun, ada satu hal
yang menarik perhatian saya dari sekian kasus yang terjadi di atas. Lebih
lanjut, meskipun dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menggariskan
bahwa batas usia minimal menikah untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk
laki-laki adalah 19 tahun, namun data Susenas 2006 menunjukkan bahwa 12,56
persen wanita berumur 10 tahun ke atas menikah pertama kali pada usia 15 tahun
ke bawah. Sementara mereka yang menikah pertama kali pada usia 16 tahun (batas
usia legal untuk menikah) hanya 9,84 persen (Tim
Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia, 2007).
Pernikahan usia dini
berimplikasi pada peningkatan jumlah ibu melahirkan di usia yang sangat muda
dan pada akhirnya meningkatkan risiko kematian. Tentu bukanlah sebuah mitos
lagi bahwa hamil diusia muda mengemban sebuah beban tersendiri. Hamil diusia
muda beresiko tinggi pada beberapa kemungkinan selama proses persalinan,
seperti yang saya jabarkan sebelumnya. Satu dari sekian bukti nyata terjadi di
Sleman. Dominasi kasus kematian ibu hamil kebanyakan berusia di bawah 25 tahun (Republika, 15 Jan 2014).
Contoh lain yang
terkait dan merupakan perpanjangan dari permasalahan nikah dini adalah kasus
yang terjadi dan hangat dibicarakan di Kota Malang. Malang sendiri bertengger
diurutan keenam dengan jumlah AKI di Provinsi Jawa Timur. Siapa pula yang tidak
kenal Kota Malang? Kota yang kata kebanyakan orang terkenal dengan “anak nakal”
nya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa faktor pergaulan dan lingkungan
memegang kontribusi besar terhadap diri seseorang. Hal ini juga berimbas dengan
meningkatnya jumlah kematian ibu pascapersalinan. Satu yang menjadi sorotan
saya pada kasus ini adalah pola pikir remaja yang cenderung “sesat daratan”.
Tidak sedikit dijumpai remaja-remaja yang ingin cepat menikah, bahkan cenderung
memaksa. Mereka bahkan belum berfikir jauh bagaimana kerasnya hidup dan
rumitnya berumah tangga. Entah yang mereka angankan adalah kehidupan nyaman
layaknya layar sinetron di televisi? Dan yang paling mengerikan, mereka rela
berhenti sekolah, padahal ekonomi keluarga pun cukup mapan. Hal ini jelas
terlihat dari kasus kematian ibu hamil yang didominasi dari keluarga ekonomi
cukup. Pendidikan rata-rata ibu hamil yang meninggal tersebut sudah setingkat
SMA (Republika, 15 Jan 2014). Hitung
saja jumlah undangan pernikahan yang mengatasnamakan anda saat musim nikah
tiba. Lebih dari sepuluh, atau mungkin duapuluh dalam dua pekan.
Fakta lapangan
mengatakan bahwa nikah dini adalah sebuah gejala—atau
mungkin fenomena— yang menggerogoti pemuda saat ini. Memang, ada sekian faktor
yang mendorong seseorang untuk melakukan nikah dini. Lupakan sejenak tentang
status pendidikan dan ekonomi rendah yang selalu dikait ulurkan dengan
problematik masyarakat kekinian. Sebagai seorang yang menggeluti dunia
kesehatan, saya akan mengkaji beberapa hal dalam sudut pandang saya terkait
nikah dini, kesehatan, dan dampak sosialnya.
Secara biologis,
seseorang akan memiliki perkembangan mental yang dikatakan “matang” seiring
bertambahnya usia (Walters n.d., h. 17). Seorang anak usia sepuluh tahun akan
bertolak belakang pola pikirnya dengan seorang yang berusia duapuluh lima
tahun. Seorang berusia empat belas tahun
akan memiliki penyelesaian masalah yang kontras dengan seorang yang berusia duapuluh
tujuh tahun. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran experience juga menentukan kematangan seseorang, namun tidak
selalu. Dengan bermain analogi, pernyataan bahwa “Pengalaman adalah penentu
kematangan seseorang, di atas segalanya” akan terpatahkan.
Seseorang yang hidup
lebih lama di dunia tentu memiliki masa yang lebih lama pula untuk berfikir daripada
seseorang yang “barusan” terlahir. Seseorang yang lebih tua akan selalu
dimintai pendapat karena ia dianggap lebih tahu asam garam kehidupan. Dapat saya
simpulkan bahwa usia memegang peranan penting dalam kematangan hidup seseorang.
Ini juga berlaku pada seseorang yang nikah muda. Menurut Magdalena (2010) seseorang
yang usiannya muda, dalam hal ini dan hingga selesainnya tulisan berikut akan
saya sebut dengan remaja untuk lebih menegaskan, memiliki mental yang labil. Remaja
adalah fase pencarian jati diri. Tidak mengherankan kasus perceraian menjamur di
tengah masyarakat. Seolah menjadi trend,
kasus perceraian dan kematian berjalan harmonis. Hal itu tidak lain dan tidak
bukan karena nikah dini.
Tingkat kematangan mental yang rendah, menyebabkan
seseorang memiliki stressor yang
lemah. Orang yang nikah pada usia muda lebih muda mengalami stress. Seseorang
yang mengalami stress tentunnya akan sulit untuk berfikir dan menjalani
rutinitasnya (Segal unpub.). Lantas, dari sekian banyak penyebab kematian pascapersalinan
yang saya sebutkan di atas, muncul satu pertannyaan. Mengapa bisa terjadi?
Remaja
memiliki tingkat kematangan reproduksi yang belum optimal layaknya orang
dewasa. Namun, remaja yang stress meningkatkan terjadinya resiko perdarahan,
eklampsia
dan sejenisnya. Pepatah “Stress dapat merusak hidupmu” memang benar adannya.
Maka untuk menyikapi
hal tersebut diperlukan sebuah aksi nyata. Sebuah aksi yang integratif. Aksi
nyata menyambut Goal MDGs 2015. Di
bawah ini terdapat beberapa alternatif pemecahan, diantarannya adalah:
a. Mengembangkan
pola pikir anak usia dini terhadap bahaya nikah usia muda
Secara fisiologis,
mengajarkan sesuatu pada anak akan lebih mudah daripada remaja atau orang tua (Donald,
2010). Mengajarkan hal benar pada orang yang belum tahu akan lebih mudah daripada
mengajarkan sesuatu yang benar pada orang yang pernah salah dan berada dalam
keadaan salah. Mengajarkan sesuatu pada orang yang mau untuk diajari lebih mudah
daripada mengajar orang yang keras kepala dan berpikiran kolot. Dengan metode
ini diharapkan output jangka panjang
akan jelas lebih terlihat. Mengembangkan pola pikir anak usia dini terhadap
bahaya nikah muda atau nikah dini bukan berarti kita harus menanamkan
doktrin-doktrin bahwa nikah dini itu bahaya, atau bahkan dilarang.
Mengembangkan pola pikir yang dimaksud adalah kita menjelaskan pada mereka
tentang hal-hal yang akan mereka hadapi ketika menambil keputusan untuk nikah
dini. Kita menjelaskan dengan metode sesederhana mungkin, karena selain yang
kita hadapi adalah anak-anak bisa pula ada beberapa orang awam yang mendengar
dan memproses suara anda. Karena tidak jarang orang awam menjadi lebih kompleks
dari yang anda pikirkan.
Harapan Indonesia
dimasa depan tidak akan mengalami kasus serupa. Anak-anak akan menancapkan
ajaran yang mereka dapat dan menjadikan prinsip hidup. Sebagai seorang tenaga
kesehatan, anda dapat mulai dengan lingkungan sekitar. Tetangga, ataupun
anak-anak sekitar gang rumah yang bermain di rumah anda. Ajaklah mereka
berkomunikasi. Tidak perlu hal-hal berat yang anda sampaikan. Cukup sampaikan
bahwa mereka harus berjuang untuk mimpi-mimpinya. Berjuang hingga mimpi itu
tercapai. Komunikasikan secara berkelanjutkan maka diharapkan munculnya semacam
sugesti dan mengalihkan perhatian mereka terhadap nikah dini dimasa mendatang
atau perbuatan yang meningkatkan terjadinya resiko nikah dini.
b. Ikalan
layanan masyarakat yang tidak provokatif namun aplikatif
Pernah menyaksikan
iklan layanan masyarakat? Tidak dapat dipungkiri bahwa televisi membawa
perubahan besar dalam peradaban manusia. Jika remaja membawa doktrin nikah dini
dari televisi, atau tepatnya sinetron-sinetron yang tidak mendidik itu, kita
kembalikan pula bahwa doktrin nikah dini tidak sepenuhnya baik dengan televisi
melalui iklan layanan masyarakat.
Sepanjang pengamatan saya,
iklan layanan masyarakat produksi pemerintah yang banyak beredar dimasyarakat
kekinian hanya mengiklankan tentang secondary
level of prevention. Pemerintah hanya mengiklankan sebuah kasus masyarakat
yang telah banyak disorot oleh publik massa. Hasilnya? Sungguh tidak efektif.
Sebut saja iklan
layanan masyarakat KB (Keluarga Berencana). Iklan KB mulai muncul ketika dirasa
publik memang sungguh-sungguh butuh akan iklan KB itu sendiri. Darimana pemerintah tahu? Jawabannya satu,
dari media massa. Banyak media yang menyorot, pemerintah merasa
tanggungjawabnya mulai gagal, muncul iklan layanan masyarakat. Begitulah
siklusnya dari dahulu. Dan yang paling penting, iklan layanan masyarakat
cenderung memaksa, cenderung provokatif. Lantas muncul pertanyaan, siapa pula
yang mau untuk dipaksa? Tidak seorang pun.
Inilah titik lemah dari
iklan layanan masyarakat. Mengutamakan pencegahan itu penting, karena selain
sesuai dengan prinsip pendekatan pelayanan dokter keluarga, pencegahan membuat
seseorang tidak terlanjur jatuh ke jurang kegelapan. Primary level of prevention apabila diiklankan akan lebih aplikatif
daripada secondary level of prevention. Karena
pencegahan primer lebih pada upaya kita untuk mempromosikan tentang suatu hal. Upaya
kita menjelaskan tentang suatu hal. Bukan upaya kita mempropagandakan suatu
gerakan. Merekrut sebanyak-banyanknya sukarelawan, dengan harapan tujuan dapat
tersampaikan. Sebuah kesalahan besar karena kebanyakan iklan layanan yang
beredar adalah hal yang semacam.
Ini adalah momen yang tepat
bagi pemerintah untuk mengiklankan tentang nikah dini. Karena sebenarnya,
problematik nikah dini tidaklah— tepatnya belum
menonjol namun membawa dampak besar. Banyak hal besar berasal dari hal kecil
yang disepelekan atau yang tidak dihiraukan. Dengan upaya promosi diharapkan
seseorang akan merubah pola pikirnya. Karena pada dasarnya upaya primer itu
seperti bisa ular, perlahan namun mematikan. Tidak provokatif, namun aplikatif.
c.
Klik Online, Solusi tepat dan praktis.
Selain
televisi, pembawa pembaharuan pada masyarakat kita adalah internet. Siapa pula
yang tidak bisa mengoperasikan internet? Anak usia tujuh tahun pun mahir.
Internet
adalah sebuah jaringan tanpa sekat. Orang bebas berkunjung dari laman ke laman,
ataupun hanya sekedar mengintip isi laman tersebut. Penyebaran berita melalui
media internet lebih cepat tersampaikan daripada media elektronik yang lain.
Jika para entreprenur berlomba
memasarkan produk mereka melalui internet, karena dianggap lebih cepat, murah,
dan aplikatif, mengapa tidak kita aplikasikan pula topik yang kita bahas kali
ini?
Hal
yang pertama kali terlintas dalam otak saya adalah pembuatan web edukasi. Mendengar kata “edukasi”
tentu tidak lepas dengan kesan malas dan membosankan. Namun, berdasar kesan
itulah ide saya muncul.
Website
dibuat simpel dan semenarik mungkin. Bisa pula digunakan perpaduan warna,
karena warna adalah kesan pertama yang ditangkap oleh seseorang. Di dalam web tersebut, kita bahas semua yang
berkaitan tentang remaja. Mulai dari mental seorang remaja yang belum matang,
hingga kesiapan reproduksi yang belum optimal. Dari wacana tersebutlah, kita
kaitkan dengan problematik nikah muda.
Untuk
menjaga agar orang tetap berada dalam laman tersebut, disediakan pula content video animasi tentang nikah
dini. Video bisa berisi dampak-dampak yang akan anda hadapi ketika mengambil
keputusan untuk melakukan nikah dini. Untuk menambah kesan sugesti, disediakan
pula game. Game yang cukup sederhana, namun memberikan sugesti orang untuk
memainkan game tersebut. Saya sebut “Ramal Masa Depan Anda!”
Adaptasi
game tersebut saya dapat dari game “Ramal Jodoh” yang sering teman sekelas
mainkan. Konyol memang, namun membuat orang penasaran. Dari kesan penasaran itulah orang mencoba.
Dalam game “Ramal Masa Depan Anda!” akan diberikan beberapa pertannyaan dan
pilihan yang wajib diisi oleh pengunjung. Diantaranya adalah usia, keputusan
lima tahun mendatang, cita-cita, dan waktu nikah. Jika pengunjung menjawab
ingin menikah dalam waktu dekat namun usia belum mencukupi, maka pada hasil akhir
sistem akan menjawab “Masa depan anda suram”.
Dari masalah yang telah dijelaskan dan bukti-bukti
yang telah ada kita bisa ambil kesimpulan bahwa problematik nikah dini bukanlah
suatu hal yang sederhana dan pula kompleks. Sederhana karena kita dapat menyikapinya.
Kompleks karena butuh usaha besar untuk memutus mata rantai dan doktrin
masyarakat.
Untuk mewujudkan Goal dari Millenium Declaration 2000 diperlukan sebuah upaya yang tidak hanya sekali dilakukan namun berkelanjutan. Upaya yang sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini dan tidak memaksa, namun memberikan sugesti. Karena pada dasarnya, tidak seorang pun yang mau untuk dipaksa dan mau melakukan hal yang tidak sesuai dengan pemikiran mereka. Oleh karena itu, kita ubah pemikiran mereka. Kita lakukan beberapa pendekatan pada masyarakat. Kita lakukan upaya professional. Kita menyampaikan, namun memberi kesan tidak menyampaikan. Kita memberikan media informasi dalam bentuk yang tidak biasa. Sesuai dengan prinsip pendekatan pelayanan dokter keluarga, pencegahan adalah hal yang utama. Melalui upaya pengembangkan pola pikir anak usia dini terhadap bahaya nikah usia muda, iklan layanan masyarakat yang tidak provokatif namun aplikatif, dan upaya melalui website di internet diharapkan akan tercipta masyarakat yang harmonis di negeri kita. Harmonis bukan berarti memiliki keluarga sedini mungkin. Harmonis adalah ketika kita hidup membawa profit bagi masyarakat untuk kesejahteraan Indonesia yang lebih baik menjelang MDGs 2015.
Ditulis Oleh:
Arlinda Silva Prameswari
Mahasiswa Tingkat II Pendidikan Dokter
February, 2nd 2015
Ketika yang biasa tak lagi biasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar