Pembuka

Laman seorang pemikir salah kaprah yang menulis seenak kupingnya. Tulisan di laman ini adalah murni dari penulis. Beberapa artikel mungkin mengandung unsur "doktrin" ataupun "opini serapah"

Gambar Header

Gambar Header

Kamis, 26 Februari 2015

HIPORTEMIA VERSI PENULIS

Anda mungkin tak asing dengan kata Hiportemia. Seperti yang dilantunkan oleh Gita Gutawa dalam lagunya, “Hiportemia di kutub utaraa….” Ya, saya tak perlu repot menjelaskan akan “Apa itu Hiportemia” dan mengapa “Hiportemia” itu terjadi. Baiklah, setidaknya sedikit. Hiportemia adalah  Hm… membuka dengan kalimat macam itu terlalu mainstream. Satu kata yang mewakili banyak hal akan Hiportemia — kedinginan yang berlebih. Dan akhir-akhir ini “syndrome” sialan itu mulai melanda penulis.

Baiklah, tidak penting apakah penulis ini terkena hiportemia atau tak. Karena kuberitahu satu hal, itu amat tidak guna. Yang terpenting adalah, penulis ini masih bisa menulis — walaupun dengan tema konyol macam ini. “Thank’s to Hiportemia”, ala orang 9gag.

Berani taruhan? Kalian mungkin bingung “bagaimana” hiportemia melanda di Negara — yang kata pemain bola luar — lengket. Baiklah saya tegaskan sekali lagi, ini artikel Hiportemia versi penulis. Dan isinya mungkin agak menyimpang dengan kenyataan ilmiahnya. Satu peringatan untuk anda, “Jika tidak ingin otak anda teracuni dengan tulisan saya”, jangan scroll down.

Minggu, 22 Februari 2015

#ESAI - WAJAH TERCORENG MPU TANTULAR DAN UPAYA MENGHIDUPKAN NILAI YANG TERDEGRADASI

“Negeri ini makin lucu. Merdeka, tapi tak pantas. Macam anak yang lupa jasa orang tuanya. Sungguh sebuah ironi…. Tak lebih baik dari kucing dan tikus -tikus got”.
                                                  
Bhineka Tunggal Ika, kalimat suci yang telah ternodai, setidaknya hingga detik ini oleh kaum-kaum abad duapuluh satu. Kalimat itu, kalimat yang selalu direlasikan dengan suasana harmoni dan sikap toleransi mulai terdengar tabu dan janggal di kuping manusia modern Indonesia. Frasa itu dicetuskan oleh seorang berdarah Jawa yang mengajarkan toleransi akan keanekaragaman, kepercayaan, dan keagamaan untuk mencapai satu tujuan nyata, concord (Inggris), yang berarti kerukunan.

Frasa itu, premis yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sesuatu, tak langsung melejit saat “detik kedua” pencetusannya. Bhineka Tunggal Ika telah dilontarkan sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya. Hingga suatu ketika terpecah belah itu, umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.

Mpu Tantular, darah Jawa yang mencetuskan kalimat itu, merujuk pada pupuh 139, bait 5, dalam kakawin Jawa Kunonya yang diberi judul Kakawin Sutasoma menyatakan dengan tegas, menggunakan bahasa sankserkerta, “Bhineka Tunggal Ika merupakan  pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman, kepercayaan, dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit”, yang kemudian dijadikan semboyan agung bangsa “Zambrut Khatulistiwa” karena memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, dan telah sepenuhnya mampu menumbuhkan rasa dan semangat persatuan.

CERITA PENDEK - PENGARANG CILIK


Sedikit mengawali postingan perdana di blog penulis yang baru, dikarenakan blog yang lama tidak bisa dibuka karena suatu hal

Nina duduk dengan gelisah di teras rumah. Hampir 1 jam ia menunggu kedatangan Pak Pos tetapi belum juga kelihatan. Setengah kesal Nina berdiri dan berjalan menuju pagar. “Lama sekali Pak Pos ini”, keluh Nina dalam hati. Tiba-tiba dari kejahuan terdengar derumotor yang khas. Nina melonjak kegirangan. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat balasan surat dari Mbak Mira”, ujar Nina kepada diri sendiri.


“Pos...!” Teriak Pak Pos dari balik pagar sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Nina. “ Terima kasih, Pak” kata nina seraya melihat amplop surat. 
“Asyik, aku dapat balasan dari Mbak Mira”, teriak Nina berulang-ulang. 
Ibu yang tengah merapikan meja makan menoleh tatkalah melihat Nina bergegas merobek amplop surat
Surat dari siapa, Nin?” Tanya Ibu.
“Dari Mbak Mira, Bu”. Jawab Nina.
“ Siapa Mbak Mira itu? Sahabat penamu?” Tanya ibu serayah menghampiri Nina.
“Dia pengarang, itu lho yang sering menulis cerita anak di koran hari minggu” 
“Ooo.... pengarang kesayanganmu”, ujar ibu. 
Nina mengangguk kecil lalu melanjutkan membaca surat. Surat dari Mbak Mira ternyata lumayan panjang dan ditulis dengan bahasa yang enak.
Wah, ternyata Mbak Mira tidak sombong walaupun ia adalah pengarang yang terkenal”, Gumamnya dalam hati.