Aku
adalah Jessy, perkenalkan! Kau bisa menyebutku sebagai buah pemikiran dari
penulis. Aku adalah PIKIRAN PENULIS hahaha. Entah alasan apa yang membuatnya
memilih nama “Jessy” untukku, bukannya Vito, Matt, ataupun – Justin? Ah, lupakan
nama terakhir. Itu adalah nama dari penyanyi terkenal dari barat tanah hijau
yang tertutup oleh salju, Kanada. Justin Bieber. Lupakan tentang dia karena
penulis hanya akan menangis karena tidak mampu membeli album keluaran terbarunya.
Hm, biar aku koreksi, ia mengalihkan uang tabungannya. Pernah suatu ketika lima
tahun silam di sebuah ruang kelas pojok lantai dua bangunan sekolah menengah. Seorang
antah-berantah yang menyebut dirinya dengan “Justin Bieber” datang ke
Indonesia, penulis kusam dan segerombolan temanya itu, yang tentu pula
sama-sama kusamnya, memberenggut di pojok ruang kelas sembari matanya berkaca
melihat layar laptop yang mempertontonkan beribu tweet di akun media sosial mereka. Salah seorang teman dengan
malangnya mengatakan bahwa ia setengah mati tidak rela sang idola memeluk
sorang gadis yang setengah keranjingan
hingga tanpa sadar dicakarnya layar laptop itu. Sementara seorang disampingnya
terus mengeram setengah kesal ikutan memberi dukungan seraya menyeruput es
berwarna kuning mencolok yang kuyakini telah dicampur pewarna sintetis satu
liter lebih. Penulis iba melihat layar laptop yang menjadi korban pencakaran
seksual sembari dalam hati ingin menjambak gadis yang disebutnya setengah keranjingan itu. Hingga pada akhirnya ia
pun ikutan mencakar. Sementara di pojok seberang, para murid lelaki sibuk bersorai
memerhatikan adegan mesum salah satu anime sambil sesekali mengumpat. Sedangkan
layar laptop sendiri, sebagai korban, tetap terdiam seribu bahasa. Seolah
pasrah akan nasib yang akan menimpannya. Waktu itu adalah momen dimana aku
memiliki kontrakdiksi yang tinggi terhadap penulis. Kuberi tahu kau pembaca,
walopun sepanjang eksistensi aku selalu bersama dengan dia (penulis), namun
tidak semua yang ia lakukan sesuai dengan prinsipku. Masih lekat pula waktu itu
aku terus mebisikinya agar mengalihkan pandang barang semilisekon saja dari
layar laptop malang itu karena seseorang tengah memperhatikannya. Namun, ia
menolak dan tetap memaku pandang pada gadis keranjingan
itu. Seseorang diseberang sana sedikit berteriak memanggil, barangkali ia punya
hutang atau ia menagih janji bocoran soal harian sejarah tempo hari? Aku tak
tahu persis, namun orang ini tetap tak mengiraukannya. Hingga akhirnya aku
memaksannya untuk berdiri namun tetap tak bisa hingga terjadi baku hantam. Sang
penulis matannya berkedut, mengalihkan pandang, namun seseorang di sana telah
berlalu. Lantas sang guru memasuki ruangan membuat mereka semua terdiam.
Penulis terdiam. Kedua perempuan disebelahnya terdiam. Para lelaki yang mengumpat
terdiam. Meja-kursi terdiam. Papan tulis terdiam. Layar laptop yang sedari tadi
diam, tetap terdiam. Hanya gadis keranjingan yang tetap tersenyum cekikikan,
lantas menyadari semuannya diam langsung ikutan terdiam. Dan detik itu pun aku
juga terdiam. Pembuka
Laman seorang pemikir salah kaprah yang menulis seenak kupingnya. Tulisan di laman ini adalah murni dari penulis. Beberapa artikel mungkin mengandung unsur "doktrin" ataupun "opini serapah"
Gambar Header
Sabtu, 09 Juli 2016
Diary Usang Februari
Aku
adalah Jessy, perkenalkan! Kau bisa menyebutku sebagai buah pemikiran dari
penulis. Aku adalah PIKIRAN PENULIS hahaha. Entah alasan apa yang membuatnya
memilih nama “Jessy” untukku, bukannya Vito, Matt, ataupun – Justin? Ah, lupakan
nama terakhir. Itu adalah nama dari penyanyi terkenal dari barat tanah hijau
yang tertutup oleh salju, Kanada. Justin Bieber. Lupakan tentang dia karena
penulis hanya akan menangis karena tidak mampu membeli album keluaran terbarunya.
Hm, biar aku koreksi, ia mengalihkan uang tabungannya. Pernah suatu ketika lima
tahun silam di sebuah ruang kelas pojok lantai dua bangunan sekolah menengah. Seorang
antah-berantah yang menyebut dirinya dengan “Justin Bieber” datang ke
Indonesia, penulis kusam dan segerombolan temanya itu, yang tentu pula
sama-sama kusamnya, memberenggut di pojok ruang kelas sembari matanya berkaca
melihat layar laptop yang mempertontonkan beribu tweet di akun media sosial mereka. Salah seorang teman dengan
malangnya mengatakan bahwa ia setengah mati tidak rela sang idola memeluk
sorang gadis yang setengah keranjingan
hingga tanpa sadar dicakarnya layar laptop itu. Sementara seorang disampingnya
terus mengeram setengah kesal ikutan memberi dukungan seraya menyeruput es
berwarna kuning mencolok yang kuyakini telah dicampur pewarna sintetis satu
liter lebih. Penulis iba melihat layar laptop yang menjadi korban pencakaran
seksual sembari dalam hati ingin menjambak gadis yang disebutnya setengah keranjingan itu. Hingga pada akhirnya ia
pun ikutan mencakar. Sementara di pojok seberang, para murid lelaki sibuk bersorai
memerhatikan adegan mesum salah satu anime sambil sesekali mengumpat. Sedangkan
layar laptop sendiri, sebagai korban, tetap terdiam seribu bahasa. Seolah
pasrah akan nasib yang akan menimpannya. Waktu itu adalah momen dimana aku
memiliki kontrakdiksi yang tinggi terhadap penulis. Kuberi tahu kau pembaca,
walopun sepanjang eksistensi aku selalu bersama dengan dia (penulis), namun
tidak semua yang ia lakukan sesuai dengan prinsipku. Masih lekat pula waktu itu
aku terus mebisikinya agar mengalihkan pandang barang semilisekon saja dari
layar laptop malang itu karena seseorang tengah memperhatikannya. Namun, ia
menolak dan tetap memaku pandang pada gadis keranjingan
itu. Seseorang diseberang sana sedikit berteriak memanggil, barangkali ia punya
hutang atau ia menagih janji bocoran soal harian sejarah tempo hari? Aku tak
tahu persis, namun orang ini tetap tak mengiraukannya. Hingga akhirnya aku
memaksannya untuk berdiri namun tetap tak bisa hingga terjadi baku hantam. Sang
penulis matannya berkedut, mengalihkan pandang, namun seseorang di sana telah
berlalu. Lantas sang guru memasuki ruangan membuat mereka semua terdiam.
Penulis terdiam. Kedua perempuan disebelahnya terdiam. Para lelaki yang mengumpat
terdiam. Meja-kursi terdiam. Papan tulis terdiam. Layar laptop yang sedari tadi
diam, tetap terdiam. Hanya gadis keranjingan yang tetap tersenyum cekikikan,
lantas menyadari semuannya diam langsung ikutan terdiam. Dan detik itu pun aku
juga terdiam.
Langganan:
Komentar (Atom)