Rakyat
sehat, negara kuat. Begitulah frasa yang sering terdengar di kedua kuping saya.
Seolah berpegang teguh pada prinsip tersebut, Indonesia yang menduduki
peringkat pertama jumlah penduduknya di kawasan Asia Tenggara, jungkir-balik membuat sebuah aksi nyata.
Tidak tanggung, Indonesia bahkan menargetkan terealisasinya UHC (Universal Health Coverage) yaitu sistem
kesehatan yang memastikan setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang
adil terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu meliputi preventif, kuratif dan rehabilitatif
pada tahun 2019 (Supriyantoro, 2014). Indonesia dalam rangka mencapai tujuan
global UHC menerapkan kebijakan jaminan sosial secara nasional melalui
undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan menetapkan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pelaksana program jaminan sosial
tersebut. Menghadapi tantangan menuju UHC, maka pemerintah menyusun strategi
dengan pengintegrasian Jamkesda kedalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
akan dikelola secara terpusat oleh BPJS (Kemenkes, 2014). Namun, fakta di
lapangan mengatakan bahwa berlakunya BPJS tidak mendapat dukungan yang baik
oleh kondisi yang ada di daerah. Sistem dan landasan BPJS yang terkesan amburadul dan tumpang tindih juga
dianggap sebagai aktor utama prevelensi keberhasilan program tersebut tidak
maksimal. Alhasil, bukan dosa besar jika media memberi label BPJS adalah sistem
yang pincang. Namun, sebagai seorang mahasiswa terutama anak kedokteran, suatu
hal yang tidak sedap dipandang jika kita hanya duduk dan berdiam melihat
“rumah” milik sendiri berantakan. Sesuai dengan hakikat mahasiswa yang bisa
melakukan hubungan vertikal dan horizontal sekaligus. Horizontal dalam artian
mahasiswa merupakan objek yang paling dekat berinteraksi dengan masyarakat
sehingga mengetahui kondisi kekinian masyarakat. Vertikal dalam artian
mahasiswa bisa berdialog langsung dengan penguasa dan menyuarakan semua jeritan
rakyat. Diharapkan ikut andilnya mahasiswa akan menghasilkan suatu kebijakan
revolusif dan jauh dari praktik monopoli. Berikut beberapa hal yang dapat
dilakukan mahasiswa kedokteran untuk “membersihkan” rumah milik mereka:Pembuka
Laman seorang pemikir salah kaprah yang menulis seenak kupingnya. Tulisan di laman ini adalah murni dari penulis. Beberapa artikel mungkin mengandung unsur "doktrin" ataupun "opini serapah"
Gambar Header
Jumat, 25 Desember 2015
COMPREHENSIVE ACTION: MENGIKIS PRAKTIK MONOPOLI DAN “CACAT” SISTEM DALAM UPAYA REALISASI UHC (UNIVERSAL HEALTH COVERAGE) 2019
Rakyat
sehat, negara kuat. Begitulah frasa yang sering terdengar di kedua kuping saya.
Seolah berpegang teguh pada prinsip tersebut, Indonesia yang menduduki
peringkat pertama jumlah penduduknya di kawasan Asia Tenggara, jungkir-balik membuat sebuah aksi nyata.
Tidak tanggung, Indonesia bahkan menargetkan terealisasinya UHC (Universal Health Coverage) yaitu sistem
kesehatan yang memastikan setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang
adil terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu meliputi preventif, kuratif dan rehabilitatif
pada tahun 2019 (Supriyantoro, 2014). Indonesia dalam rangka mencapai tujuan
global UHC menerapkan kebijakan jaminan sosial secara nasional melalui
undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan menetapkan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pelaksana program jaminan sosial
tersebut. Menghadapi tantangan menuju UHC, maka pemerintah menyusun strategi
dengan pengintegrasian Jamkesda kedalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
akan dikelola secara terpusat oleh BPJS (Kemenkes, 2014). Namun, fakta di
lapangan mengatakan bahwa berlakunya BPJS tidak mendapat dukungan yang baik
oleh kondisi yang ada di daerah. Sistem dan landasan BPJS yang terkesan amburadul dan tumpang tindih juga
dianggap sebagai aktor utama prevelensi keberhasilan program tersebut tidak
maksimal. Alhasil, bukan dosa besar jika media memberi label BPJS adalah sistem
yang pincang. Namun, sebagai seorang mahasiswa terutama anak kedokteran, suatu
hal yang tidak sedap dipandang jika kita hanya duduk dan berdiam melihat
“rumah” milik sendiri berantakan. Sesuai dengan hakikat mahasiswa yang bisa
melakukan hubungan vertikal dan horizontal sekaligus. Horizontal dalam artian
mahasiswa merupakan objek yang paling dekat berinteraksi dengan masyarakat
sehingga mengetahui kondisi kekinian masyarakat. Vertikal dalam artian
mahasiswa bisa berdialog langsung dengan penguasa dan menyuarakan semua jeritan
rakyat. Diharapkan ikut andilnya mahasiswa akan menghasilkan suatu kebijakan
revolusif dan jauh dari praktik monopoli. Berikut beberapa hal yang dapat
dilakukan mahasiswa kedokteran untuk “membersihkan” rumah milik mereka:
Langganan:
Komentar (Atom)